Jakarta, tvOnenews.com - Kisruh pengosongan Hotel Sultan terus bergulir.
Mengenai permintaan pengosongan tersebut, pemilik Hotel Sultan Pontjo Sutowo sangat menyayangkan atas upaya yang ia nilai tidak sah.
“Upaya eksekusi itu tanpa didasari instruksi pengadilan,” ujar Pontjo Sutowo kepada media di Jakarta, Jumat (7/10/2023).
Selain itu, Pontjo juga menyayangkan upaya membangun opini seolah dirinya menguasai aset negara secara tidak sah.
“Kami sedang berusaha untuk mencari solusi baik-baik, tetapi secara sepihak melakukan upaya untuk menguasai,” kata Pontjo.
“Ada sejarah panjang sehingga Hotel Sultan itu berada di Senayan. Kami memegang Hak Guna Bangunan (HGB) yang ada jauh sebelum munculnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL),” jelas Pontjo Sutowo.
Pontjo mengatakan bahwa pihaknya memenangkan semua tingkatan pengadilan soal HPL, tetapi di tingkat PK pihaknya dikalahkan begitu saja.
“Harus diingat HPL itu jauh di belakang setelah HGB dipegang,” jelasnya.
Sesuai aturan, pihaknya berhak untuk memperpanjang setelah masa 30 tahun, 20 tahun dan untuk 30 tahun lagi.
Namun katanya, tanpa alasan yang jelas, pihaknya dipersulit untuk memperpanjang.
“Kalau tanah masih bisa diperdebatkan, tetapi bagaimana dengan bangunan itu yang 100 persen adalah milik kami. Sebenarnya, kami sedang mencari upaya untuk mencari jalan keluar terbaik, tetapi tanpa dasar yang jelas, mereka memasang spanduk di sekitar hotel,” ujar Pontjo Sutowo.
“Semestinya, harus ada perintah pengadilan, tetapi, perintah pengadilan itu tidak pernah ada. Ini kan sewenang-wenang,” tambah Pontjo.
Hotel Sultan (Istimewa)
Tidak ada perintah pengadilan sampai saat ini. Kami akan berusaha mencari jalan terbaik,” jelas Pontjo.
Pontjo mengatakan, pada tahun 1971, pemerintah menugaskan PT. Indobuildco untuk membangun kawasan hotel untuk event-event internasional, dimana semua biaya dibebankan kepada PT. Indobuildco, miliknya.
“Sebagai kompensasinya, Indobuildco memperoleh izin dan penunjukkan penggunaan tanah eks Jajasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat (Jakindra) seluas 13 hektar dari Pemda DKI Jakarta,” katanya.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam perjanjian pada Agustus 1971.
“Kami juga mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Negara melalui Menteri Dalam Negeri RI,” katanya.
Permohonan itu dikabulkan dengan adanya SK Mendagri tanggal 3 Agustus 1972 mengenai pemberian Hak Guna Bangunan kepada PT. Indobuildco atas tanah seluas sekitar 15 hektar.
“Dalam SK itu ditegaskan HGB yang dimaksud merupakan tanah Negara atau bukan tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL),” kata Pontjo.
Begitu juga dengan SK Gubernur DKI Jakarta ketika itu.
Pontjo juga mengatakan bahwa pihaknya telah memiliki dokumen pelepasan hak dari Direktur Gelora Senayan pada tanggal 27 Juli 1972 itu.
“Memang benar, mereka yang membebaskan lahan, tetapi setelah mereka bebaskan, mereka juga yang melepaskan lahan itu,” tegasnya.
Dia menjelaskan, lahan itu diperoleh PT Indobuildco disertai dengan kewajiban PT. Indobuildco untuk membayar kepada Pemda DKI Jakarta, KONI Pusat dan Jakindra sebesar US$ 1.500.000.
Sedangkan terkait pembangunan Gedung Konferensi (Conference Hall) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin dan penunjukkan tanah bekas Jakindra seluas 13 hektar sesuai SK Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, PT. Indobuildco juga diharuskan membayar kepada Yayasan Gelora Senayan sebesar US$ 6.000.000 sesuai perjanjian antara Yayasan Gelora Senayan dan PT Indobuildco pada Maret 1978.
“Dana itu sesuai arahan Presiden RI tidak boleh dipakai, tetapi merupakan dana abadi bagi kas Yayasan Gelora Senayan dan hanya bunganya yang boleh dipakai,” tegas Pontjo.
Pontjo menyayangkan adanya opini yang dikembangkan seolah Negara tidak memperoleh pemasukan apapun.
Padahal, setiap tahun, pihaknya rutin membayar pajak yang mencapai Rp 80 Miliar.
Pontjo Sutowo Pemilik PT Indobuildco sebagai pengelola Hotel Sultan di kawasan kompleks Gelora Bung Karno (GBK)/Istimewa
“HPL tidak boleh menghilangkan HGB. Okelah kalau tanah bisa diperdebatkan, tetapi kan ada bangunan yang sepenuhnya milik kami. Apalagi, kami semula memperoleh HGB di atas tanah Negara, bukan hak pengelolaan lahan (HPL). HPL ini datang belasan tahun setelah kami miliki HGB,” tegas Pontjo.
“Kami hanya mengharapkan adanya perlindungan hukum. Kami mau berbicara untuk menyelesaikan secara baik-baik, tetapi tiba-tiba ada upaya untuk menguasai,” jelas Pontjo.
“Kami pernah memperpanjang kontrak pada tahun 2003 lalu dan itu tidak ada persoalan apapun, tetapi ketika kami mau memperpanjang dipersulit sedemikian rupa,” tutup Pontjo.
Sebelumnya, Menkopolhukam, Mahfud MD meminta PT Indobuildco untuk mengosongkan bangunan Hotel Sultan setelah status Hak Guna Bangunan (HGB) Kawasan Hotel Sultan, Gelora Bung Karno (GBK) resmi berakhir.
Kawasan Hotel Sultan tersebut kini statusnya kembali dikuasai oleh pemerintah berdasarkan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto menjelaskan, HGB Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora atas nama PT Indobuildco dengan total luas 13,6 hektare (kawasan Hotel Sultan) telah berakhir pada 4 Maret 2023 dan 3 April 2023.
Dengan demikian, status tanah tersebut otomatis kembali pada HPL Nomor 1 Tahun 1998 atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia c.q. Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan. (put)
Load more