Sudah seharusnya disadari bahwa tahapan pemilu hingga saat ini, bukan sekadar cukup menghadirkan kandidat presiden-wapres untuk selanjutnya disuguhkan kepada rakyat sebagai pemilih pada 14 Februari 2024.
Proses kehadiran mereka sebagai kandidat juga tetap harus menjaga keluhuran nilai, etika, dan moral budaya demokrasi. Di lain sisi, pemilih secara cerdas dan berbudi mulia dibawa ke pelabuhan suara, melalui kotak pemilihan.
Tujuannya, pemenang kontestasi tidak dianggap cacat karena demokrasi bisa terhindar luka dan rakyat semakin matang berdemokrasi karena memilih secara mulia. Sebagaimana tampak dihadirkan melalui puisi "Malam Minggu di Angkringan", bahwa pemenang pemilu haruslah sungguh-sungguh menjadi punggung negara, tempat kokoh untuk bersandarnya masa depan bangsa.
Pemilihan umum selayak dan sepatutnya bukan sekadar para pasangan kandidat dengan para parpol pengusung mereka itu meraup sebanyak-banyak suara pemilih. Lebih dari itu, baik kandidat maupun rakyat dengan para agen, melakoni pesta demokrasi secara bermartabat.
Puisi lainnya berjudul "Demokrasi" (2018) yang juga menjadi bagian antologi "Perjamuan Khong Guan", kiranya mesti dipahami melalui paradigma terbalik untuk menghadirkan harapan baik dan bermartabat terhadap kandidat serta rakyat.
"Rakyat ialah Sukir, kusir yang memberi kursi kepada penumpang bernama Sukri dengan imbalan jempol dan janji. Sukir dan andongnya tetap hepi, kling klong kling klong. Sukri tak bisa duduk enak lagi, pantatnya sakit digigit kursi," demikian puisi tersebut.
Load more