"Termasuk Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya tentang hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi pada Pasal 24, dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah yang wajib mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi penyandang disabilitas dengan menggunakan cara tertentu termasuk Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) pada Pasal 122," demikian yang tertulis dalam surat tersebut.
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti-audism juga menyebutkan bahwa seorang disabilitas tuli mendapatkan informasi dengan cara visual, yaitu menggunakan indera penglihatan sehingga berkomunikasi melalui bahasa isyarat indonesia (Bisindo), dan hal tersebut harus dihormati serta difasilitasi.
Menurut mereka, pilihan komunikasi penyandang tuli dengan bahasa isyarat tak boleh dilarang atau dipaksa mengganti.
Tugas pemerintah lah untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi mereka, seperti juru bahasa isyarat (JBI), juru ketik, dan Alat Bantu Dengar (ABD), serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum terkait keragaman cara berkomunikasi, agar tercipta lingkungan yang inklusif.
"Cara komunikasi penyandang disabilitas tuli yang lain adalah dengan bahasa isyarat alamiah, yang juga merupakan cara komunikasi paling efektif. Dengan cara itu, ABD bukanlah solusi dan alat yang dapat membantu anak Tuli berbicara dengan sempurna," sebut surat itu.
Karena itu Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti-audism berharap Risma mau duduk bersama dan berdiskusi untuk memahami satu sama lain, sehingga bisa bekerja sama. (act)
Load more