Jakarta, tvOnenews.com - Dalam debat calon presiden (capres) perdana yang telah dilakukan pada Selasa (12/12/2023), Anies Baswedan dinilai berani menerobos ke area paling rawan dalam dunia penegakan hukum.
Hal ini diungkapkan oleh Reza Indragiri Amriel selaku Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan Poltekip Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
“Anies justru eksplisit menyebut tiga kasus hukum,” ujar Reza dalam keterangannya, dikutip Jumat (15/12/2023).
Kasus pertama yang dimaksud Reza adalah penembakan terhadap anak-anak di tengah aksi demonstrasi pendukung Prabowo.
“Orangtua korban bahkan duduk di belakang Anies,” kata Reza.
Kasus kedua yang disebut Anies dalam debat tersebut adalah penembakan terhadap anggota laskar FPI.
“Atau dikenal luas sebagai kasus km 50,” ujar Reza.
“Ketiga, tragedi sepakbola Kanjuruhan,” sambung Reza.
Reza kemudian mengatakan, ketiga kejadian memilukan itu sudah dianggap final.
“Final dalam arti terlupakan maupun sudah inkracht putusannya. Tapi Anies malah mendesak negara mengusut tuntas atau pun melakukan investigasi ulang,” ujar Reza.
Dok. Tragedi Kanjuruhan (ANTARA)
Maka menurut Reza, dengan pesan sedemikian rupa, Anies menerobos ke area paling rawan dalam dunia penegakan hukum.
“Dunia penegakan hukum adalah penghormatan HAM dan ketuntasan pengungkapan kasus,” tandas Reza.
Kemudian Reza menjelaskan, dalam peristiwa penembakan anak-anak di tengah aksi demonstrasi pendukung Prabowo yang salah satu korbannya adalah Harun Al Rasyid merupakan kasus melayang-layang sebagai extrajudicial killing atau unlawful killing.
“Semakin serius karena yang menjadi korban adalah anak-anak,” jelas Reza.
Sementara anak-anak adalah kelompok usia yang PBB pun sampai mengeluarkan konvensi khusus untuk melindunginya.
“Namun boleh jadi juga karena mereka masih anak-anak, maka upaya pengungkapan kasusnya tidak terlihat seolah mereka adalah warga kelas dua,” ujar Reza.
Sementara menurut Reza, kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan sudah selesai.
“Tapi sebatas selesai dari sisi kepastian hukum,” katanya.
Capres No Urut 1, Anies Baswedan saat Debat Perdana (tim tvOnenews/Bagas)
Dalam debat tersebut, Anies, sebagaimana pandangan banyak kalangan, menilai kemanfaatan hukum apalagi keadilan hukum masih jauh dari kenyataan.
“Dan ketika Anies juga mengangkat narasi tentang Indonesia sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum, maka "selesai"-nya kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan dapat ditafsirkan sebagai penyelesaian kasus hukum yang lebih dikendalikan oleh kekuasaan,” ungkap Reza.
Maka Reza mempertanyakan, jika akhirnya Anies terpilih jadi presiden, dan ia ingin menginvestigasi maupun melakukan investigasi ulang ketiga kasus tadi, adakah insan Tribrata yang sanggup melakukannya?
“Siapakah anggota Polri yang mampu menjadi Kapolri dan mengemban tugas tersebut?” tanya Reza.
Reza pun mengajak masyarakat membayangkannya dalam tiga situasi.
“Pertama, secara umum, di organisasi kepolisian terdapat Blue Curtain Code atau Kode Tirai Biru,” ujar Reza.
Reza menjelaskan ini adalah subkultur menyimpang yang ditandai oleh kecenderungan personel kepolisian untuk menutup-nutupi kesalahan sesama kolega.
“Kedua, sekiranya fakta tentang faksi-faksi di institusi Polri adalah benar adanya, maka potensi obstruction of justice dari internal Polri juga bisa menjadi batu sandungan bagi Kapolri mendatang,” kata Reza.
Kemudian yang ketiga, menurut Reza, dalam praktik di sekian banyak negara maju, ketika terjadi misconduct, lembaga kepolisian dihukum dengan keharusan membayar police misconduct compensation.
“Alhasil, jika investigasi (ulang) atas kasus-kasus dimaksud menyimpulkan telah terjadi police misconduct, maka betapa besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh Polri,” tandas Reza.
Maka menurut Reza, jika berangkat dari tiga situasi tersebut, tampaknya 'mencari Kapolri' akan menjadi agenda yang lebih berat bagi Anies ketimbang 'memberikan tugas kepada Kapolri'.
Ilustrasi Polisi (Istimewa)
Namun Reza menegaskan, berat bukan berarti mustahil.
“Tetap harus dipompa keyakinan bahwa jumlah polisi yang baik lebih banyak daripada polisi yang tidak baik alias oknum,” ujar Reza.
Kemudian Reza berharap nantinya pasti ada jenderal yang cakap dan bernyali kuat untuk melaksanakan perintah presiden terkait tiga kasus yang disebutkan Anies dalam debatnya.
“DPR RI akan punya kontribusi besar jika juga punya komitmen yang sama pada ketiga kasus di atas,” jelasnya.
Sebagai penutup, Reza mengingatkan bahwa lembaga-lembaga pada sistem peradilan pidana juga tidak perlu resisten.
“Ini momentum baik bagi revitalisasi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas institusi penegakan hukum,” tandasnya. (put)
Load more