tvOnenews.com - “Otak kita tidak bebas. Dia dipengaruhi dengan berbagai rekayasa. Pertanyaannya, mampukah kita berpikir independen?”.
Monolog Guru Gembul, content creator Youtube dengan 1 juta subscribers, mengusik 500-an peserta Festival Muda Berdaya yang dilaksanakan di Sanctuary Auditorium, Menara Kuningan, Sabtu (27/1/2023).
Pria dengan nama asli Jafar Rohadi ini bersama 11 pembicara lain dalam festival itu mendorong muda-mudi di malam minggu untuk bisa mendobrak cara berpikir. Tidak terjebak pada realitas sosial dan berpikir kritis atas setiap peristiwa yang terjadi di sekeliling kita.
Menurut Guru Gembul, kebanyakan dari kita, membiarkan otak bekerja dengan segala rekayasa inderawi yang diterima. Padahal, panca indera tak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang ada di sekitar. Maka dari itu, penting bagi kita untuk bisa skeptis terhadap segala hal.
“Hal pertama yang paling mendasar dari kegagalan dalam berpikir independen adalah emosi, penyangkalan, displacement, itu level terendah dalam berpikir. Misal, kalau kita kalah, lalu kebanyakan kita menyalahkan pihak lain, kemudian memaklumkan diri kita,” ungkap dia.
“Maka untuk berpikir independen, kalahkan dulu emosi itu. Baru setelah itu kita bisa berpikir secara rasional,” ujar Guru Gembul.
Pembicara lain, tokoh intelektual, Rocky Gerung, mengungkap sejatinya manusia adalah makhluk berpikir. Namun, ada doktrin-doktrin yang membuat manusia menjadi tidak berpikir.
“Apa yang buat Anda takut bepikir sehingga takut membenamkan sesuatu? Pertama, yang membatalkan pikiran itu bernama doktrin. Federalisme itu doktrin, feodalisme itu doktrin. Ketika Anda berpikir melawan itu, tandanya Anda sedang berpikir,” kata Rocky.
Kebebasan berpikir itu yang buat manusia menemukan jati dirinya. Saat ini, kebebasan berpikir kerap terganggu dengan ilusi dan intervensi budaya.
Redefinisi kebahagiaan
Penulis Maman Suherman, yang turut bermonolog dalam Festival Muda Berdaya, menyoroti fenomena “follow” dan “unfollow” di media sosial, fear of missing out (FOMO), hingga paradoks tua dan muda yang menentukan kebahagiaan seseorang. Padahal, semua itu tidaklah nyata.
Hal ini yang menimbulkan banyak peristiwa kriminal hingga tingginya angka bunuh diri di Indonesia. Semua bermuara pada gangguan kejiwaan yang terjadi akibat tekanan-tekanan sosial.
“Jangan pernah mau terjebak pada public opinion apalagi di media sosial. Polisi skena? Dahsyat betul. Kalau kita beda sedikit dengan publik, kita dianggap aneh,” ungkap Maman.
“Kalian suka dengan kutipan saya atau Rocky Gerung? Kalau untuk gagah-gagahan, ikut-ikutan, buat apa? Kenapa enggak kalian ciptakan moment of truth kalian?” ungkap pria yang kerap dipanggil, Kang Maman, ini.
Maman mendorong anak-anak muda agar menemukan moment of truth masing-masing. Sulit mendefinisikan moment of truth ke dalam Bahasa Indonesia. Namun, Maman mencontohkan moment of truth ketika dia melihat seorang anak kecil terlihat asyik membaca buku bersama teman-temannya.
Dia dekati anak tertua di antara sekelompok anak berusia SD itu. Maman baru menyadari anak itu memegang buku terbalik, yang menandakan sang anak hanya berpura-pura membaca. Beberapa tahun kemudian saat Maman kembali ke daerah itu, seorang anak mendadak merangkul kakinya.
“Dia bilang, ‘masih ingat saya, Om? Saya dulu yang baca buku terbalik tapi karena Om tidak permalukan saya, saya bertekad bisa baca dengan baik dan hari saya mau menyampaikan puisi’. Moment of truth sekecil itu yang menjadikan saya saat ini,” kenang Maman.
“Ayo kita cari jati diri kita sendiri. Pernah enggak kamu mem-follow hatimu?” ungkap Maman.
Ferry Irwandi, yang menjadi pembicara di sesi Teras Literasi Festival Muda Berdaya, memiliki pandangan serupa soal mencari jati diri dan arti kebahagiaan. Menurut Ferry, kebahagian diri hanya bersifat jangka pendek. Namun, memberikan kebahagiaan kepada orang lain akan menjadi investasi jangka panjang karena bisa mengubah hidup seseorang. Membahagiakan orang lain juga menjadikan kita tidak egois.
“Kemampuan public speaking yang keren mungkin bisa dilihat orang lain, tapi kemampuan berempati bisa mengubah orang lain. Ketika kita berbuat baik kepada orang lain, maka kebahagiaan akan balik ke kita,” ucap Ferry, content creator yang banyak memopulerkan stoikisme di Youtube.
Biksu muda, Bhante Diragunno, dalam acara yang sama juga turut menyuarakan pentingnya mencari jalan tengah dalam kehidupan. Jalan tengah ini yang membuat kita tidak menyiksa diri.
“FOMO (fear of missing out), ketakakutan akan ketertinggalan adalah penderitaan yang sering kita sengaja, kita menginginkan keinginan orang lain walau sadar diri kita belum mampu merealisasikannya. Tapi demi gaya, kita menyiksa diri kita hanya untuk merealisasikannya,” ungkap Bhante.
“Karena sesuatu yang kita kejar mati-matian pada intinya adalah sesuatu yang tidak pernah kita bawa mati, maka hidup ini jalan tengah, kita tidak terlalu berlebihan dan jangan malas-malasan. Harus tahu mana yang harus diperjuangkan dan yang ditinggalkan,” kata Bhante.(chm)
Load more