tvOnenews.com - Awal 2024 dunia korporasi dihebohkan oleh skandal suap SAP, sebuah perusahaan perangkat lunak multinasional asal Jerman. Kasus ini berhasil dibongkar Department of Justice (DOJ) & Securities and Exchange Commission (SEC), Amerika Serikat (AS). SAP didenda USD220 juta (Rp3,465 triliun), karena melanggar Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) — UU yang terbit tahun 1977 tentang praktik korupsi luar negeri yang melarang menyuap pejabat pemerintah asing untuk membantu atau memperoleh atau mempertahankan suatu bisnis.
Kasus suap ini juga diduga telah menyeret beberapa BUMN, dua Kementrian dan Lembaga Indonesia lainnya. Berdasarkan dokumen pengadilan AS, SAP diduga telah memberikan suap berupa barang berharga, uang dalam bentuk tunai maupun transfer, sumbangan politik, hingga pembelian barang-barang mewah (Sumber: DOJ-USA, 2024).
AS sangat keras terhadap korporasi yang melakukan praktik korupsi. Menurut Transparency International, peringkat Indeks Persepsi Korupsi AS pada tahun 2023 adalah 24, jauh lebih rendah ketimbang Indonesia 115.
Ketika membaca berita itu, DR. Zulkarnain Sitompul SH, LLM yang merupakan Dosen Universitas Nasional/Mantan Deputi Komisioner Bidang Hukum OJK terlintas dalam pikirannya tentang pengadaan gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG) Pertamina yang sedang “dibidik” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari berbagai sumber yang saya peroleh, pada tahun 2011, Pertamina ditugaskan pemerintah memenuhi kebutuhan gas domestik. Pada saat itu gas pipa tidak mencukupi kebutuhan di Jawa dan Sumatera, dan proyeksi permintaan ke depan akan meningkat pesat. Konon, Pertamina katanya telah bersurat kepada BP Migas namun tidak dapat alokasi kargo LNG. Sehingga opsi lain perlu menjajaki perusahaan LNG dari luar negeri untuk memasok ke Indonesia.
Pada tahun 2013 dan 2014, Pertamina melakukan perjanjian jual beli (Sales and Purchase Agreement/SPA) LNG dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL), sebuah perusahaan AS. Kedua SPA LNG tersebut, yakni: SPA 2013 dan SPA 2014, terjadi pada era Karen Agustiawan selaku Direktur Utama Pertamina. Kemudian dibatalkan dan diganti dengan SPA LNG 2015 oleh Dwi Soetjipto, pengganti Karen.
Kontrak baru ini, SPA LNG 2015 akan berlangsung hingga 2040 dan telah diresmikan Jokowi pada Oktober 2015 saat kunjungannya ke Washington DC, AS. Pengapalan LNG perdana telah dimulai sejak 2019.
Dari info orang dalam, pada Juni 2014 Karen melapor kepada pemerintah untuk mengundurkan diri dari jabatan Direktur Utama. Setelah direstui, kemudian Karen mengirim surat ke Menteri BUMN pada Agustus 2014. Karen resmi berhenti dengan hormat dari Pertamina 1 Oktober 2014, sebelum kontraknya sempat dilaksanakan.
Prinsip Keterbukaan SEC
Unsur utama dalam prinsip keterbukaan adalah perusahaan publik wajib mengungkapkan (disclose) setiap informasi atau fakta material (material facts) kepada masyarakat. Sebagai Otoritas Pasar Modal AS, SEC mewajibkan seluruh perusahaan publik menjalankan prinsip keterbukaan, guna mengurangi kesenjangan informasi antara investor dan perusahaan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif berupa denda maupun sanksi pidana.
SEC mewajibkan perusahaan dikelola dengan benar (Good Corporate Governance/GCG). Perolehan atau kehilangan kontrak sangat penting, keduanya tergolong informasi atau fakta material. Perkara hukum terhadap perusahaan dan/atau direksinya yang berdampak material wajib segera dilaporkan, dan diumumkan kepada masyarakat melalui situs web dan situs bursa efek.
Meskipun tidak sepenuhnya sama, di Indonesia peran SEC dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebelumnya oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Informasi atau fakta material wajib dilaporkan paling lambat pada akhir hari kerja kedua, yang antara lain meliputi: penggabungan (merger), akuisisi, spin-off atau mendirikan perusahaan baru.
Tersedianya informasi yang cukup di pasar akan mencerminkan harga sekuritas yang diperdagangkan sesuai dengan harga dari perusahaan penerbit sekuritas dimaksud. Sehingga pasar menjadi tempat berinvestasi, dan bukan tempat berspekulasi.
Atas dasar prinsip keterbukaan tersebut, seluruh SPA LNG Pertamina — CCL telah dilaporkan ke SEC, dan terbuka untuk umum, serta dapat diakses oleh siapapun melalui link berikut: (SPA 2013; SPA 2014; SPA 2015)
Pengadaan LNG Pertamina - CCL
Dalam kasus SPA LNG Pertamina — CCL, tersedianya informasi atau fakta material yang diwajibkan SEC kepada perusahaan publik, setidaknya dapat digunakan untuk tiga hal berikut:
Pertama, membantu masyarakat menilai apakah klausula dalam SPA LNG 2015 Pertamina — CCL hanya menguntungkan sepihak? SPA lazimnya harus menguntungkan kedua belah pihak (both parties better off).
Kedua, sebuah SPA adalah perjanjian minimal antara dua pihak. Jika ada pihak dituduh melanggar hukum dan merugi, pasti ada pihak lain yang untung secara melanggar hukum. Artinya, jika Pertamina telah dituduh melanggar hukum berupa “suap” dan merugi, maka SEC harus melakukan langkah hukum terhadap CCL.
Ketiga, apakah SEC memberikan sanksi kepada CCL karena tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik? Faktanya, “Tidak,” maka CCL telah menjalankan GCG.
Atas dasar ketiga hal di atas, maka kita dapat memahami perkara yang sedang dihadapi oleh Karen. Jika SPA LNG Pertamina — CCL cacat hukum, misal Karen mendapatkan suap/gratifikasi sehingga kontrak harus dibatalkan, maka CCL harus melapor ke SEC. Sekali lagi, bagi SEC perolehan atau kehilangan kontrak merupakan informasi atau fakta material yang wajib dilaporkan.
Pertanyaan: “Mengapa CCL tidak melapor ke SEC?” Alasannya pasti tentu karena tidak ada suap! CCL pun tidak ada kepentingan apapun dengan Karen, karena SPA LNG 2013 dan 2014 sudah dibatalkan, dan Karen tidak memiliki kendali apapun terhadap SPA LNG 2015.
Artinya, dari sudut pandang SEC, SPA LNG Pertamina — CCL bukanlah suatu tindak pidana yang melanggar FCPA. Buktinya? Tidak ada laporan terkait perkara hukum dari CCL kepada SEC, atau otoritas AS tidak melihat adanya frauds dalam kontrak tersebut.
“Jika tuduhan KPK benar, sehingga SPA LNG 2015 harus dibatalkan, lantas siapa yang akan memikul kerugian: Pertamina atau CCL? Jika KPK masih tetap bersikukuh menuduh ada tindak pidana, bagaimana dengan volume LNG yang sudah diambil dan diperdagangkan kembali oleh Pertamina ke pihak lain?”
Faktanya, hingga kini SPA LNG 2015 masih dijalankan, bahkan Pertamina telah meraup keuntungan. Sangat aneh kontrak yang dituduh telah merugikan negara, tetapi justru menguntungkan dan kontrak masih terus dijalankan hingga 2040, alias belum selesai (voltooid)!
Dengan tercatatnya SPA LNG 2015 di SEC, kasus pengadaan LNG ini sudah clean & clear, atau tidak ada suap! Bagi setiap perusahaan manapun, perencanaan pembelian suatu komoditas adalah sebuah aksi bisnis biasa, bukan sebuah tindak pidana! Realisasi dari perencanaan tersebut justru harus dikelola dengan benar. Dalam kasus ini, jelas bahwa perlakuan SEC terhadap CCL sangat berbeda dengan terhadap SAP. Mengapa?(chm)
Load more