Aceh Barat, Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai, bencana ekologi seperti banjir, dan longsor setiap tahunnya merupakan persoalan klasik yang hanya direspon saat kejadian. Sementara pemerintah selama ini sering mengabaikan pencegahan agar bencana tidak kembali terjadi.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Shalihin menyebut, bencana yang timbul merupakan bukti kerusakan hutan semakin parah terjadi di Aceh. Baik itu karena alih fungsi hutan, illegal logging, perambahan, pertambangan liar serta pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
“Kerusakan hutan di kawasan hulu sungai yang merupakan daerah tangkapan air juga telah berdampak mudahnya terjadi banjir maupun longsor setiap tahunnya. Bencana ekologi ini tentunya merugikan pemerintah sendiri maupun masyarakat akibat kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan karena lahan produktif rusak karena bencana,” kata Ahmad Shalihin.
Ahmad mencontohkan, meluapnya Sungai Krueng Inong (Meureubo) di Desa Lhok Guci, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat pada Senin (20/12/2021) malam yang mengakibatkan putusnya jembatan gantung Lhok Guci sebagai akses penghubung Desa Cot Manggie, Kecamatan Panton Reu merupakan banjir kiriman dari hulu yang berdampak buruk bagi warga yang tinggal di kawasan hilir.
Dengan putusnya akses transportasi masyarakat ini, kata dia, tentunya berdampak buruk terhadap perekonomian warga. Jembatan rusak membuat petani mengalami kendala dalam mendistribusikan hasil pertanian.
“Jadi yang terdampak itu tidak hanya di hulu, tetapi hilir juga sangat berdampak karena banjir akibat laju kerusakan hutan di Aceh, sejumlah sungai meluap, ini karena alih fungsi hutan yang tidak diselesaikan oleh pemerintah,” ucapnya.
Kata Ahmad, solusi mengurangi bencana ekologi di Aceh butuh komitmen Pemerintah Aceh, yaitu menghentikan penebangan hutan, pembukaan lahan dan pertambangan ilegal yang membuat kerusakan hutan semakin parah. Menurutnya, bencana ekologi yang terjadi di Aceh tidak bisa ditangani hanya oleh satu institusi, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) saja. Akan tetapi, harus terintegrasi dan dilakukan secara bersama-sama, karena persoalan yang dihadapi saat ini cukup komplek.
"Ini untuk jangka pendek penanganannya, jadi tidak hanya merespon saat banjir terjadi, tetapi harus ada upaya penanganan yang terintegrasi dan berkesinambungan," sebutnya.
Berdasarkan kajian Walhi Aceh, melakukan revisi Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2013-2033 menjadi solusi jangka panjang agar bencana ekologi bisa diatasi secara bersama-sama. Karena dalam tata ruang tersebut, semua pihak terlibat berkontribusi untuk mencegah terjadinya bencana ekologi di Aceh.
“Dengan adanya revisi Qanun RTRW, memiliki acuan dalam pemanfaatan ruang, pengembangan wilayah serta bisa mewujudkan keseimbangan pembangunan di kabupaten/kota. Sehingga memiliki kesamaan pandangan dalam pengambilan kebijakan, baik dalam pemanfaatan hutan maupun pemanfaatan ruang dan wilayah lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, kata Ahmad, dalam revisi Qanun RTRW perlu paninjauan peruntukan kawasan hutan yang di dalamnya ada fasilitas umum, sosial, permukiman warga, pertokoan dan sejumlah persoalan lainnya.
"Misalnya krisis ruang budi daya terutama wilayah kelola masyarakat di kabupaten/kota yang diapit oleh kawasan hutan dan konservasi," jelasnya.
Ia juga meminta kepada Pemerintah Aceh untuk menyegerakan penyusunan masterplan pengelolaan banjir secara terpadu di Aceh, sebab menurutnya pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara konfrehensif dari hulu ke hilir. (Chaidir Azhar/Wna)
Load more