Yang menarik, kata Toto, dari lima isu penting diatas, isu poligami itu cukup mendapat respon publik yang negatif. Ditolak oleh 88,6%. Meskipun, kandidat yang melakukan itu menikah dengan istri keduanya secara sah.
“Kenapa menarik? karena di hampir setiap melakukan survei dimana saja, temuan data seperti itu selalu muncul dengan tingkat penolakan yang cukup tinggi. Apalagi, yang sudah jelas-jelas dianggap melanggar hukum seperti korupsi, LGBT, Judi dan Narkoba,” ungkapnya.
Masalahnya, lanjut Toto, seberapa besar isu-isu negatif itu berpengaruh kepada anjloknya elektabilitas, kembali kepada hukum prilaku pemilih. Yaitu, seberapa publik tahu dan seberapa publik percaya. Sebab, bisa saja publik tahu, tapi publik tak percaya terhadap isu tersebut, maka otomatis tak berefek elektoral buruk.
Dari data LSI Denny JA, khusus di Kota Bogor, publik yang tahu terhadap isu-isu negatif para calon itu baru 5,5%. Selebihnya, 93,6% mengaku tidak tahu dan tidak pernah dengar.
“Data ini bisa menjadi goodnews buat para kandidat yang terkena salah satu isu negatif diatas seperti poligami, LGBT, korupsi dan lain-lain, tapi publik tidak tahu. Sebaliknya, menjadi badnews pada saat mayoritas publik akhirnya tahu,” tegasnya.
Tentang siapa aja kandidat yang terkena isu tersebut, Toto menolak berkomentar. Meskipun, dalam survei, nama yang terseret isu itu, minimal LGBT dan Poligami, terpotret. Namun, tidak etis jika disebutkan kepada publik karena harus ada konfirmasi kepada yang bersangkutan.
Pada bagian lain, Toto juga mengingatkan ada isu lain yang penting diantisipasi para calon. Yaitu, angka penerimaan publik yang menganggap wajar terhadap money politic cukup tinggi, 49,1%. Ini gambaran tingginya sikap pragmatisme publik di Kota Bogor. (ebs)
Load more