tvOnenews.com - Pengguna digital harus mampu membedakan antara lelucon (candaan) dengan perundungan (bullying). Candaan tidak dilakukan secara berulang-ulang, apalagi dengan melukai dan menyakiti perasaan. Sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman atas lelucon yang berlebihan itu.
Praktisi Komunikasi Andi Widya Syadzwina, mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital untuk segmen pendidikan yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI bersama Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Utara di Kabupaten Minahasa Utara, Rabu (21/8).
Widya mengatakan, perundungan dunia maya atau cyberbullying merupakan perundungan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi digital dan dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel.
”Cyberbullying meninggalkan jejak digital, sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan bukti ketika membantu menghentikan perilaku salah ini,” jelas Andi Widya Syadzwina dalam diskusi yang dipandu moderator Iman Darmawan itu.
Dalam diskusi online bertajuk ”Bijak Bermedsos Tanpa Cyberbullying” itu, Widya juga menyebut, tindakan menyebarluaskan privasi tanpa diketahui orang yang bersangkutan juga termasuk perilaku perundungan. ”Termasuk tindakan dengan sengaja mempermalukan untuk merusak nama baik,” tegasnya.
Bijak bermedsos tanpa perundungan, menurut Widya, memiliki beberapa keuntungan. Di antaranya, keamanan privasi dan informasi pribadi terjaga, nyaman dalam mengakses informasi, memperoleh income atau penghasilan, dan terhindar dari perilaku buruk.
”Konsep internet safety membuat penggunanya lebih bijak dan berhati-hati dalam mengakses informasi di internet. Pengguna internet dapat memperoleh penghasilan melalui bisnis online maupun menjadi content creator. Bijak bermedsos dapat menghindarkan penggunanya dari perilaku buruk seperti cyberbullying, aksi pornografi, radikalisme, dan lainnya,” rinci Andi Widya Syadzwina di hadapan pelajar peserta diskusi virtual yang mengikuti acara lewat nonton bareng (nobar) dari sekolah masing-masing.
Sejumah sekolah menengah yang menggelar nobar diskusi online di wilayah Kabupaten Minahasa Utara dan sekitarnya, antara lain: SMPN 1 Dimembe, SMPN 1, SMPN 2, dan SMPN 3 Airmadidi, SMPN 1 Kalawat, SMP Advent Unklab Airmadidi, SMPN 4 Satu Atap Likupang Timur, SMPN 6 Satu Atap Likupang Barat, SMPN 2 Satu Atap Dimembe, SMPN 1 Talawaan, SMP Katholik Saint Johanis Laikit, dan SMPN 2 Kauditan.
Dari sudut pandang berbeda, akademisi Universitas Paramadina Jakarta Septa Dinata menyebut beberapa contoh perilaku perundungan (bullying). Di antaranya, flaming dan trolling (menggoda atau menjebak), harassment (usikan), impersonasi dan catchfishing (berpura-pura menjadi orang lain), dan outing (menyebarkan rahasia).
”Lalu, tipu daya (trickery), yaitu berpura-pura ramah untuk meyakinkan seseorang agar mengungkapkan rahasia atau informasi yang memalukan, ekslusi, yakni dengan sengaja dan kejam mengekslusi seseorang dari diskusi atau grup daring, dan penguntitan (stalking),” jelas Septa Dinata.
Sementara, Wakil Ketua Umum Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia Eko Prasetya mengatakan, edukasi dan pencegahan deteksi dini dapat mengakhiri perilaku cyberbullying. Selain itu, dukungan bagi korban dan intervensi orang lain juga sangat diperlukan.
”Bicaralah dengan seseorang: dorong korban untuk berbicara dengan seseorang yang dipercaya, seperti orang tua, guru, atau konselor. Dukungan emosional sangat penting, termasuk pelatihan bagi orang tua dan guru. Latih orang tua dan guru tentang bagaimana mengenali tanda-tanda cyberbullying dan cara penanganannya,” pungkas Eko Prasetya.
Untuk diketahui, webinar seperti digelar di Kabupaten Minahasa Utara ini merupakan bagian dari program Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). GNLD digelar sebagai salah satu upaya untuk mempercepat transformasi digital di sektor pendidikan hingga kelompok masyarakat menuju Indonesia yang #MakinCakapDigital.
Sejak dimulai pada 2017, sampai dengan akhir 2023 program ini tercatat telah diikuti 24,6 juta orang. Kegiatan ini diharapkan mampu menaikkan tingkat literasi digital 50 juta masyarakat Indonesia hingga akhir 2024.
Kecakapan digital menjadi penting, karena – menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) – pengguna internet di Indonesia pada 2024 telah mencapai 221,5 juta jiwa dari total populasi 278,7 juta jiwa penduduk Indonesia.
Survei APJII juga menyebut, tingkat penetrasi internet Indonesia pada 2024 menyentuh angka 79,5 persen. Ada peningkatan 1,4 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada 2018, penetrasi internet Indonesia tercatat berada di angka 64,8 persen. Kemudian naik secara berurutan menjadi 73,7 persen pada 2020, 77,01 persen pada 2022, dan 78,19 persen pada 2023.
(chm)
Load more