Sigit menekankan berdasarkan UU Kejaksaan 5/1991, jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik, dan oleh karenanya kewenangan jaksa sebagai penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan 3/1971 haruslah dianggap tidak ada.
Selanjutnya, pada 1999, diundangkan UU Tipikor baru, yakni UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu, sesungguhnya sudah menegaskan bahwa jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU 31/1999.
Akan tetapi, Sigit menuturkan, persoalan kewenangan itu menjadi rancu kembali dengan adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Tipikor 31/1999.
Sebab, kedua pasal itu sebagian orang menafsirkan bahwa jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor.
Pada Pasal 27 UU 31/1999 menyatakan, dalam hal ditemukan Tipikor yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Dan pada Pasal 39 UU 31/1999 menyatakan, Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Namun pada Penjelasan Pasal 27 UU Tipikor 31/1999 menyatakan, yang dimaksud dengan Tipikor yang sulit pembuktiannya antara lain Tipikor di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang bersifat lintas sektoral, dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana ditentukan dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Mengkoordinasikan di sini sesuai arti kata asalnya adalah mengatur secara baik agar lebih terarah, namun tidak melakukan penyidikan itu sendiri," jelasnya.
Load more