Buku Berlage di Nusantara, menafsir ulang perjalanan Bapak Arsitektur Modern Belanda ke Nusantara (Sumber Foto; Bajo Winarno)
Pelajaran terpenting lain dari “membaca” ulang perjalanan Berlage, menurut Prof Kemas adalah keberanian untuk menggali identitas arsitektur Indonesia dari warisan moderintas yang ditinggalkan tokoh tokoh arsitektur di Indonesia. “Kita beruntung kita punya sekolah arsitektur sendiri dan arsitek senior yangmengambil ilham dari tradisi Indonesia,” ujar Prof Kemas.
Pembicara lain, arsitek Bambang Eryudhawan melihat sikap Berlage bisa jadi ilham untuk arsitek zaman kiwari. Terutama sikapnya keterbukaannya menghadapi perubahan zaman.
“Berlage seorang tradisionalis, ia selalu mencari pijakan dari yang lama. Jika situasi berubah ia akan cari sejarahnya lagi. Ia bukan konservatif. Karya karyanya berjalan terus. Ia bukan untuk satu gaya buat semua zaman,” ujar Bambang.
Bambang juga menyebut Berlage mempengaruhi Prof V.R Van Romondt, seorang yang membangun kurikulum pendidikan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Van Romondt pernah menyebut jika arsitek Indonesia ingin menemukan identitasnya sendiri, jangan membuat gerakan gerakan kosong.
Bambang lalu mencontohkan bangunan-bangunan yang berdiri di Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur yang bagai gerak gerak kosong. "Tak ada kesempatan arsitek untuk duduk berpikir, semua terburu buru," ujar Bambang.
Kini kita tahu perjalanan Berlage ke Nusantara itu ternyata cukup mengubah pandangan Berlige. Tak hanya mengubah pemikiran tentang apa itu "Timur" dan "Barat", dan bagaimana "kolonialisme" bekarja di luar Eropa, perjalanan juga memberi warna "baru" pada praktek berarsitektur. Karya karya Berlage lalu banyak mengekplorasi lorong Lorong panjang dan gelap disebut hasil dari mengunjungi banyak situs candi di Pulau Jawa. "Sayangnya tak lama setelah itu, Berlage meninggal dunia," ujar Prof Kemas.
Load more