tvOnenews.com - Pengamat hukum dan ekonomi Pieter C Zulkifli menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen sebagai langkah strategis meningkatkan pendapatan negara. Menurutnya, ini menjadi langkah Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun.
Namun, di sisi lain, langkah ini berpotensi bertentangan dengan janji peningkatan taraf hidup masyarakat. Sebab, kenaikan PPN bisa meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, yang otomatis melemahkan daya beli rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
"Prabowo Subianto memulai pemerintahannya dengan visi yang ambisius. Namun, janji besar seperti menghapus kemiskinan memerlukan keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kenaikan PPN menjadi ujian pertama, apakah ini langkah awal menuju transformasi ekonomi atau sekadar langkah pragmatis yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan keuangan negara?" kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Selasa (19/11/2024).
Pieter menegaskan, Prabowo harus mempunyai keberanian yang besar untuk menghapus kemiskinan dan menaikkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ia mengatakan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah membutuhkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 8.000 triliun per tahun.
Jumlah ini merupakan dua kali lipat dari APBN saat ini. Padahal, Kementerian Keuangan memproyeksikan APBN 2025 hanya mencapai Rp 3.600 triliun.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN 12 persen perlu difokuskan mendukung kesejahteraan rakyat. Ia menilai pemerintah perlu memastikan tambahan penerimaan dari pajak ini disalurkan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.
"Baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial," ujar Fajry.
Fajry menambahkan, pemerintah diharapkan mampu memberikan manfaat lebih besar dibandingkan dengan beban yang harus ditanggung masyarakat akibat kenaikan PPN 12 persen.
"Jika masyarakat membayar tambahan pajak Rp200, maka manfaat yang diterima seharusnya mencapai Rp250," tegasnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, berharap pemerintah bisa mengurangi dampak dari kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang akan diterapkan mulai 2025 ini. Menurutnya, sejumlah kebijakan bisa dikeluarkan untuk menjaga perekonomian tetap bergerak di masyarakat.
"Misalnya insentif bagi pelaku usaha kecil dan mikro. Hal ini penting untuk menjaga agar perekonomian tetap bergerak," ujar Esther.
Ekonom Indef ini menilai jika PPN dinaikkan menjadi 12 persen, pemerintah perlu mencegah kontraksi ekonomi yang kemungkinan terjadi.
Ia mengatakan, insentif bagi pelaku usaha kecil bisa menjadi daya dukung masyarakat untuk beradaptasi dengan beban pajak yang naik.
Di sisi lain, Kepala Ekonomi Bank Permata Josua Pardede menyarankan agar pemerintah melakukan penguatan program bantuan sosial (bansos) untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak kenaikan PPN 12 persen.
Selain itu, ia juga mengusulkan pemberian insentif pajak bagi UMKM untuk menjaga produktivitas dan daya saing di tengah tekanan kenaikan PPN yang mungkin terjadi.(chm)
Load more