Kulonprogo, DI Yogyakarta - Bertahan hidup di tengah keterbatasan tidaklah mudah, apalagi di masa pandemi Covid-19. Itulah yang dirasakan Parjan (51), seorang tuna netra asal Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, yang berprofesi sebagai pemanjat pohon kelapa. Dia rela memanjat 40 pohon setiap hari, demi menghidupi keluarganya.
Keterbatasan fisik lantaran kedua matanya tak bisa melihat, tidak membuat Parjan putus asa. Dia tetap semangat menjalani hidupnya sebagai pemanjat pohon kelapa di Dukuh Plampang 3, Kelurahan Kalirejo demi menghidupi kedua anaknya yang sudah beranjak dewasa. Parjan bercita cita menyekolahkan anak setidaknya hingga tamat SMA.
Parjan memulai aktivitasnya pada pagi hari. Setiap pukul 07.00 WIB, ia telah bersiap dengan peralatan penyadap nira, antara lain potongan bambu untuk wadah nira, dan sebilah parang. Dengan berjalan kaki, Parjan menyusuri setiap sudut pekarangan di sekitar rumahnya yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Ia mengandalkan insting dan daya ingatnya untuk menemukan lokasi pohon kelapa. Setidaknya ada 40 pohon dipanjat Parjan setiap harinya.
Meski ditengah keterbatasan karena tak mampu melihat, tetapi ketajaman firasatnya mampu membuat Parjan menentukan pohon kelapa yang akan diambil niranya.
Setelah menentukan pohon kelapa yang tepat, tanpa ragu Parjan langsung memanjat hingga ke ujung pohon dan mampu mengambil nira, Untuk mengetahui kualitas nira yang bagus Parjan mengandalkan penciumannya.
Sementara Kamsih (43 )tak tinggal diam di rumah , ia pun membatu sang suami mencari kayu bakar untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak dan mengolah hasil panenan Parjan.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan ini tidaklah besar. Dalam sehari pasutri ini memproduksi sekitar 3 kilogram gula jawa, yang jika dijual harganya berkisar Rp50.000. Artinya dalam sebulan mereka mengantongi pendapatan sebesar Rp 1,5 juta.
"Itu kalau dalam kondisi bagus, yaitu saat nira yang diperoleh bapak (Parjan) banyak, kalau pas cuaca buruk kaya hujan atau kemarau susah dapat segitu," ungkap Kamsih.
Rendahnya pendapatan itu membuat kehidupan pasutri ini dalam keterbatasan. Pasalnya sebagian besar penghasilan dialokasikan untuk membiayai dua anak perempuan mereka yang kini sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren dan sekolah umum.
"Misal buat makan itu kami ya seadanya aja, yang penting perut tetap terisi," ujar Kamsih.
Kamsih menuturkan sejauh ini masih sedikit bantuan yang diterima keluarganya. Mereka juga tidak masuk dalam program bantuan pemerintah seperti Program Keluarga Harapan atau PKH yang merupakan pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin (KM).
"Kalau program PKH gitu kami malah tidak masuk, terakhir itu dapat bantuan yang penyaluran bansos masyarakat terdampak pandemi, itupun tahun lalu," ucapnya
Hingga saat ini pekerjaan sebagai tukang panjat pohon kelapa masih ditekuninya demi untuk menyambung hidup karena hanya inilah satu satunya keahlian yang dia miliki.
Parjan sesungguhnya lahir dengan kondisi yang normal. Namun di usianya 40 tahun ia divonis dokter memiliki penyakit katarak permanen yang membuat kedua matanya tak mampu melihat.
Meski kedua matanya buta, tetapi semangat hidup parjan patut ditiru banyak orang. Kehidupan Parjan hanyalah gambaran dari sekian banyak pemanjat kelapa di Kawasan Perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulonprogo. Pekerjaan yang penuh risiko seperti ini tak pernah sebanding dengan hasil yang mereka dapat. Jaminan kesehatan dan sosial yang sempat digembar-gemborkan Pemerintah kepada para penderes kelapa, hingga kini hanyalah wacana tanpa realisasi. (Ari Wibowo/act)
Load more