Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Sawit Watch mengadukan PT Multi Sarana Agro Mandiri (PT MSAM) kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN).
Didampingi Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, Sawit Watch menyoal dugaan kongkalikong penerbitan HGU kepada salah satu perusahaan milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam karena diperoleh tanpa mendapat Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK).
“Kehadiran Sawit Watch dan INTEGRITY hari ini sejatinya bermaksud membantu Presiden dan Kementerian ATR/BPN dalam menggalakkan pemberantasan mafia tanah yang kerap menyulut konflik agraria," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo di Jakarta, Rabu (3/8/2022).
"Kami juga hendak memastikan bahwa keberpihakan Pemerintah melawan perbuatan dzalim para mafia betul-betul diwujudkan, khususnya bagi masyarakat terdampak di Kotabaru Kalimantan Selatan," imbuhnya.
Partner INTEGRITY, Harimuddin mengatakan bahwa berita resmi dari Istana Kepresidenan Bogor pada 23 September 2021 dan hasil rapat terbatas pada 23 Mei 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menghimbau seluruh jajaran kementerian/lembaga untuk bersatu padu dan berkomitmen penuh dalam memberantas para mafia tanah. Lebih jauh, Presiden Jokowi menginstruksikan aparat kepolisian agar tidak membacking siapa pun yang disinyalir akan menghambat pemberantasan mafia tanah.
Harimuddin menuturkan perolehan HGU PT MSAM di Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru sangatlah problematik karena menyebabkan hutan negara sekitar 8.610 hektar hilang.
Kemudian, secara ilegal menjadi aset PT MSAM berupa lahan perkebunan beralaskan HGU, tanpa keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK.
Menurutnya penerbitan HGU itu terjadi pada 4 September 2018. Tidak mengherankan, pada kurun waktu yang tidak lama, puluhan masyarakat Kotabaru berdemo di depan Komnas HAM untuk meminta keadilan atas penggusuran tanah-tanah mereka akibat aktivitas perkebunan PT MSAM.
Setelah penerbitan HGU PT MSAM, lalu terbit Keputusan Menteri LHK Nomor 465/2018 untuk lokasi yang cenderung sama dan pada pokoknya menciutkan wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Inhutani II. IUPHHK-HA PT Inhutani II awalnya + 40.950 ha kemudian tersisa + 25.908 ha.
Sehingga yang kembali menjadi hutan negara tanpa pemanfaatan pihak lain, sekitar 14.333 ha. Di dalam lokasi 14.333 ha inilah PT MSAM memperoleh HGU dengan luas + 8.610 ha tanpa didahului keputusan pelepasan kawasan hutan.
“Menurut aturan yang berlaku tahun 2018, Pasal 21 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 menyebutkan bahwa keputusan pelepasan kawasan hutan harus diterbitkan setelah Menteri LHK menerima permohonan dan meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan teknis," kata dia.
"Barulah status hamparan daratan itu bukan lagi merupakan kawasan hutan. Jadi, jika ribuan hektar hutan tiba-tiba beralih jadi HGU tanpa keputusan dimaksud, dapat disinyalir ada kaki-tangan mafia tanah yang bermain dibaliknya,” pungkas Harimuddin.
Dikabarkan, Sawit Watch dan INTEGRITY telah mengadukan polemik ini kepada KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, namun hingga kini belum ada perkembangan berarti.
Advokasi hilangnya hutan negara di Kotabaru, akhirnya diperluas ke Kementerian ATR/BPN guna memberikan sinyal kepada pemangku kebijakan bahwa terdapat persoalan tanah yang serius di Kotabaru dan sepatutnya Pemerintah hadir untuk melindungi kepentingan negara dari kedigdayaan para mafia.
“Sejak 18 Januari silam, kami telah melaporkan problem ini kepada KPK. Disusul dengan laporan identik yang disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan pada 23 Mei 2022. Kami paham tantangan yang dihadapi aparat penegak hukum. Namun sebagai suatu ikhtiar yang berkelanjutan, kita perlu menjaga asa dan terus berupaya. Di sisi lain, tetap menaruh harapan besar kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberi atensi lebih terhadap persoalan-persoalan di luar pulau Jawa yang sebenarnya jauh lebih besar,” tutup Rambo. (ebs)
Load more