Jakarta - Bebas memilih jalan hidup adalah kemustahilan bagi Widyaningsih Tri Kusuma Astuti (21). Widya, begitu ia biasa dipanggil, lahir dan besar di tengah keluarga yang kurang mampu. Ayahnya buruh pabrik mebel, ibunya TKW. Ia bahkan terpaksa putus sekolah, mengikuti jejak kedua kakaknya yang bernasib sama, hanya bisa menamatkan sekolah menengah pertama (SMP).
Saat tak tahu bagaimana harus bertahan hidup, Widya bahkan nyaris tersesat ke dunia malam yang keras dan mengerikan. Pilihan dunia malam memang terasa berat, tapi apa daya, saat itu Widya tidak ada pilihan lain. Ia tidak memiliki keterampilan, apalagi ijazah.
“Mau kerja apa wong tidak punya ijazah. Jadi ya terpaksa ikut kerja malam,” kata Widya yang menjalani kehidupan malam dengan bekerja di sebuah tempat hiburan malam di Kota Solo. “Tapi saya tetap berusaha cari kerja lain juga,” Widya menambahkan.
Beruntung, di tahun 2018 akhirnya Widya bisa bekerja sebagai buruh pabrik plastik di Solo. Penghasilnya sebesar Rp300.000 per minggu. Merasa kehidupannya akan membaik, memasuki tahun 2019 ia memutuskan menikah diusia muda dengan sang pujaan hati.
Sayangnya, belum setahun bekerja, Widya terkena PHK imbas pandemi Covid-19. Saat itu usianya baru 19 dan ia baru saja memiliki anak. Selama berbulan bulan, kehidupan Widya dan keluarga kecilnya menjadi tak menentu. Apalagi sang suami hanya kerja serabutan, dan sesekali membantu di warung ayam penyet.
Titik balik kehidupan Widya, bermula dari tahun 2020.
Saat itu, ditengah kebingungan bagaimana bertahan hidup Widya tanpa sengaja menemukan brosur kursus program PKW yang diselenggarakan oleh Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Yanti Surakarta. Brosur itu dipasang di pos ronda, tidak jauh dari rumah Widya. Berkali kali ia membaca kata demi kata di brosur lusuh itu. Ikut, tidak, ikut, tidak. Seribu satu pikiran berkecamuk di pikirannya yang kalut.
Pada akhirnya keinginannya untuk merubah nasib, mendorong perempuan ini mendaftar.
Load more