Jakarta - Direktur Utama Sriwijaya Air, Anthony Raimond Tampubolon, menegaskan perusahaannya tidak memberikan persyaratan khusus bagi ahli waris korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182.
"Saya menyampaikan kami tidak membuat ketentuan apapun terkait dengan persyaratan bagi ahli waris korban untuk menerima santunan," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Selain itu, pihaknya juga tidak membatasi hak keluarga ahli waris korban untuk mengajukan tuntutan.
Diketahui, Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nur Isnin Istiartono mengatakan sebanyak 27 ahli waris korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dinyatakan belum menerima santunan dari Sriwijaya Air.
"Ahli waris penumpang yang belum menerima ganti rugi sesuai dengan PM 77 Tahun 2011 sebanyak 27 orang," jelas Nur Isnin dalam kesempatan yang sama.
Ia lantas menjelaskan rincian ahli waris yang belum menerima santunan itu, antara lain:
1. Ahli waris penumpang belum dapat melengkapi dokumen persyaratan ganti rugi sebanyak 8 orang.
2. Ahli waris penumpang menunggu jadwal penandatanganan dokumen penyelesaian ganti rugi sebanyak 2 orang.
3. Ahli waris yang belum bersedia menandatangani dokumen penyelesaian sebanyak 17 orang.
Lebih lanjut, Nur Isnin mengatakan total ahli waris yang sudah menerima santunan yakni berjumlah 35 orang. Masing-masing dari mereka mendapat total Rp 1,5 miliar.
Jumlah tersebut tidak termasuk santunan dari PT Jasa Raharja sebesar Rp 50 juta.
"Besaran ganti rugi yang diterima ahli waris sebesar 1,25 miliar ditambah 250 juta uang kerohiman dari Sriwijaya Air," pungkasnya.
Merujuk pada kasus Lion Air, para ahli waris diminta untuk menandatangani kesepakatan Release and Discharge (R&D) sebelum menerima santunan.
Dalam dokumen itu, ahli waris diminta untuk tidak menggugat Boeing agar bisa mencairkan uang santunan.
Di sisi lain, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan ahli waris yang telah tanda tangan dokumen R&D tetap bisa mencairkan santunan.
KNKT Minta Maaf
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Nurcahyo Utomo, meminta maaf atas keterlambatan mengumumkan hasil investigasi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Ia menjelaskan sesuai aturan yang berlaku, hasil investigasi harus selesai dalam waktu 12 bulan. Namun, pihaknya memakan waktu selama 1 tahun lebih 10 bulan.
Nurcahyo mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi kendala investigasi, antara lain:
1. Pandemi Covid-19
Menurut dia, pandemi Covid-19 menjadi kendala, sehingga berbagai pertemuan, wawancara dengan saksi mata, dan pihak-pihak terkait sulit dilakukan. Kegiatan tersebut akhirnya dilakukan secara virtual.
"Diskusi tim investigasi ini juga terhambat. Kebetulan merebaknya omicron membuat frekuensi diskusi harus dikurangi, akhirnya lebih banyak virtual," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/11/2022).
"Kami merasakan diskusi yang biasanya bisa diselesaikan dalam waktu satu jam mungkin bisa tiga jam atau lebih. Kami merasakan pertemuan virtual kurang efektif," tambahnya.
Selain itu, pihaknya juga tidak bisa melakukan pemeriksaan komponen ke luar negeri karena pemberlakuan travel restriction.
2. Tim Investigasi Terbatas
Kata Nurcahyo, jumlah investigator juga terbatas sehingga kegiatan investigasi terhambat. Adapun jumlahnya 8 investigator dari total 10 yang diizinkan oleh Perpres.
Menurut dia, ada beberapa kejadian yang perlu diinvestigasi di beberapa tempat, sehingga investigator terpaksa pergi mengumpulkan data ke lokasi kecelakaan. Hal ini membuat beberapa kegiatan investigasi terhambat.
"Total data yang kami peroleh selama investigasi ini 3 bulan lalu saya cek masih berkisar 178 GB. Namun, karena keterbatasan jumlah investigator, satu investigator harus mengelola banyak data, sehingga menjadi kendala. Akhirnya investigator butuh waktu lebih lama," kata dia.
3. Anggaran Terbatas
Nurcahyo berujar tim investigasi tak bisa mengirimkan komponen ke luar negeri untuk pemeriksaan. Selain adanya pemberlakuan travel restriction, anggaran KNKT juga terbatas.
Selain itu, keterbatasan anggaran juga berpengaruh terhadap pencarian cockpit voice recorder (CVR).
Dalam pencarian CVR, KNKT menyewa dua kapal untuk operasi investigasi di Kepulauan Seribu selama 2,5 bulan.
"Sewa kapalnya Rp3 juta per hari. Ada juga kapal induk untuk kru, investigator, istirahat, makan siang, dan berdiskusi. Kapal induk ini kita sewa Rp17 juta per hari," kata Nurcahyo.
"Sebenarnya kita ada kapal yang memadai, yang punya semua fungsi. Namun, sewanya Rp12 miliar per 10 hari. Operasi kita waktu itu di Kepulauan Seribu selama 2,5 bulan jadi anggarannya cukup besar. Akhirnya kita cari yang ada, yang bisa melaksanakan tugas yang bisa kita harapkan," pungkasnya. (saa/ebs/muu)
Load more