Denpasar, Bali - Antropolog dan naturalis Jean-Michel Cousteau mendorong agar nilai-nilai Pancasila masuk ke dalam agenda aksi G20. Jauhi kristalisasi agama dan nasionalisme.
Penjelajah alam dasar lautan Jean-Michel Cousteau, 82 tahun, pada akhirnya terdampar di Bali. Ia memilih menikmati masa lansianya di Pulau Dewata dan bermukim di sebuah desa yang tidak jauh dari Ubud, Gianyar.
Pada masa mudanya, reputasi Jean-Michel Cousteau sebagai penjelajah lautan memancar ke seluruh dunia.
Jean-Michel Cousteau mewarisi reputasi ayahnya Jaques-Yves Cousteu (1910-1997), yang dikenal sebagai perintis kegiatan selam bawah laut. Ayah dan anak itu pun sering bekerja sama melakukan eksplorasi alam bawah laut di berbagai tempat di dunia. Tak terhitung banyaknya film yang telah mereka buat dan proyek eksplorasi bawah laut yang mereka lakukan.
Pada masa tuanya, Jean-Michel yang dikenal sebagai naturalis sejati dan peneliti ekologi laut itu memilih kembali menyelam. Namun kali ini alam seni dan kebudayaan yang menjadi objeknya.
Sudah sekitar 20 tahun pria lulusan Paris School of Architecture itu tinggal di Bali. Dia kini mengajar di ISI Denpasar, selain rajin ikut dalam kegiatan berbagai komunitas budaya. Ia mengisi waktu luangnya dengan bermeditasi.
Gelaran KTT G20 di Nusa Dua, Bali, tak urung membuat lelaki berdarah Prancis itu merasa perlu untuk urun pendapat. Terkait posisi Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20, dan akan aktif memimpin konferensi tingkat tinggi itu, Jean-Michel mengusulkan agar Indonesia menonjolkan keunggulan nilai-nilai Pancasila ke arena sidang, dan menyisipkannya dalam agenda aksi G20.
‘’Indonesia berada pada posisi yang ideal untuk memainkan perannya di tingkat global,” kata Jean-Michel Cousteau, sebagaimana dikutip dari portal informasi Indonesia, Kamis 10 November 2022.
Menurut Cousteau, ada beberapa indikator yang membuat Indonesia layak memimpin, antara lain, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, kekerasan politik yang nyaris nol dibandingkan negara lain, dan hubungan antaragama yang harmonis.
“Poin-poin itu bisa ditawarkan sebagai model koeksistensi (kebersamaan) di tingkat global. Praktik di Indonesia lebih menekankan nilai kebersamaan daripada perbedaan. Semuanya itu terkandung dalam Pancasila, formula yang bisa bersifat lintas negara,” kata Couteau menambahkan.
Dalam pandangan Couteau, Indonesia telah berhasil mencegah dan menangani kekerasan berbasis identitas, khususnya agama dan etnis. Ini membantu Indonesia mengurangi kristalisasi agama dan nasionalisme sempit yang menjadi akar konflik di berbagai negara.
“Indonesia memiliki politik dan nilai identitas yang moderat. Sudah ada pengelolaan kompleksitas Indonesia yang cukup baik dan sukses,” ujar Jean-Michel Cousteau, yang juga sempat mendalami antropologi.
Lebih lanjut, Jean-Michel Cousteau juga mendorong Pemerintah Indonesia agar lebih tegas dalam menunjukkan identitasnya dan berperan di tingkat global. Tujuannya, agar dunia dapat mengambil nilai-nilai baiknya. Apalagi, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar pula. Keragaman etnis dan budaya di Indonesia nyaris tak ada duanya.
“Indonesia harus menjadi panutan bagi dunia,” kata Couteau, yang telah merasa menjadi penduduk Bali dan telah menulis banyak buku tentang Bali.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Staf Khusus Presiden (SKP) Ari Dwipayana mendukung seruan Cousteau tentang pentingnya kebersamaan dan meredam perbedaan. Namun, menurut Ari, yang dibutuhkan dalam konstelasi global ialah peran para pemimpin dunia dalam menekan egonya untuk bersama-sama mengatasi resesi dunia. “Kepresidenan G20 menempatkan Indonesia di garis depan untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Ari.
Toh, posisi kepresidenan ini dibayangi situasi dunia yang tidak menguntungkan. Antara lain, situasi global pascapandemi yang fluktuatif, gangguan geopolitik, perlambatan ekonomi dan perang antara Rusia dan Ukraina.
“Kami membutuhkan respons yang dinamis atas semua permasalahan tersebut,” kata Ari.
Lebih jauh, menurut Ari, penyelenggaraan KTT G20 di Bali diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dunia.
“Dengan kekuatan spiritual Bali; shanti (kedamaian), taksu (semangat), dan jagadhita (kesejahteraan), diharapkan para kepala negara mendapat aura positif dan menyebarkan kedamaian," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ari juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali, untuk mendukung dan berpartisipasi dalam menyukseskan penyelenggaraan KTT G20 pada 15-16 November 2022.
“Sebab, G20 terdiri dari negara-negara ekonomi terkuat di dunia yang memiliki pengaruh dalam mengatasi segala permasalahan dunia,” pungkas Ari.
KTT G20 di Nusa Dua, Bali, bertema Recover Together, Recover Stronger. G20 mewakili lebih dari 60% populasi dunia, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Tiga isu utama yang diangkat Indonesia untuk KTT 2022, antara lain, energi terbarukan, kesehatan global, dan dunia digital. (rul/put)
Load more