Jakarta - Piano adalah benda yg saya kasihi sejak saya kecil. Mulai dari ayah ibu tidak mampu membelikan piano bekas apalagi baru, sampai akhirnya saya dihadiahkan piano bekas yg sempat kebanjiran dan suaranyapun sudah distem berkali2 tetap tak normal lagi.
Alhamdulillah dalam perkembangannya orang tua saya bisa pelan-pelan tukar tambah dengan piano yang lebih lumayan. Begitulah setiap tahun. Sementara itu sayapun tetap rajin latihan di Kebayoran di rumah adik ibu yang merupakan keluarga dokter, dengan menggunakan bis kota dari kawasan Menteng. Saya menunggu bis, setelah berdiri berlama-lama di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat. Pada zaman sebelum 1970-an, bis saat itu masih jarang dan lama sekali menunggu bis datang.
Entah pertolongan Allah dari mana, saya bisa diterima di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) pimpinan Rudi Laban dan Iravati Sudiarso, setelah di tes tanpa pengetahuan berpiano sebelumnya. Masuk di kelas elementer, saya lalui dengan penuh semangat. Lulus ujian naik ke kelas 1, saya semakin bersemangat. Kadang masih memakai seragam sekolah, saya yang berusia 10 tahun saat itu, lari ke sekolah YPM di SD Trisula Pegangsaan. Pak Mis dan Pak Min pembersih sekolah sering heran. Oalaaa Lindaaa.., ini kelas masih berdebu, belum selesai kami sapu. Kamu kok sudah datang? Jawabku, Biarin deh pak, yg penting saya bisa latihan dulu satu jam sebelum guru piano saya datang. Pak Min dan pak Mis hanya bisa geleng-geleng kepala. Begitulah hampir setiap hari.
Yg mengejutkan, guru-guru di YPM memutuskan saya setelah ujian kelas 1, saya diloncatkan ke kelas tiga. Alhamdulillah..., seorang murid yang punya piano butut di rumah, bisa lompat kelas.
Murid di sana dulu yang menjadi teman-teman saya diantaranya adalah Pratiwi Sudarmono yang pada akhirnya menjadi astronot perempuan Indonesia pertama, Halida Hatta anak bungsu Bung Hatta, Diana Shanty yang sekarang jadi dokter, Ate Chaniago kini pebisnis batik, Nila Munzir yang kini memiliki kafe Victoria, Ariawan yang sempat menjadi Dirut Bank Muamalat, Maroef Sjamsoedin yang pernah menjadi Dirut Freeport, Oti Djamalus yang kini memiliki sekolah musik sendiri, dll.
Di tahun kelima saya berguru pada Iravati Sudiarso, pianis terkenal dan penuh disiplin tinggi. Setelah saya pindah ke West Berlin, guru piano saya nenek-nenek, seorang profesor musik di sebuah Universitas. Saya les privat di sana. Perjuangan menghadang winter minus 20 dengan berjalan kaki ke rumah sang profesor di ujung KrumeLanke, benar-benar butuh ketabahan tersendiri. Kadang air saya mengalir sepanjang jalan. Ingin bolos tapi teringat ayah yang dengan sekuat tenaga menyisihkan uang gajinya untuk pendidikan saya di Jerman, membuat saya sadar tidak boleh bermalas-malasan di negeri orang.
Bertahun-tahun kemudian, saya sempat menjadi guru piano di seputar kediaman saya di Bintaro Jaya. Betul-betul saya berbahagia mendapatkan murid yang rajin les piano apalagi yang berbakat. Anak saya masih bayi ketika itu. Heran, dia tak pernah terusik dengan keberisikan suara piano. Tidurnya tetap lelap.
Load more