Jakarta, tvOnenews.com - Kejaksaan Agung menyampaikan pertimbangan hukum yang dijadikan bahan pertimbangan oleh penuntut umum dalam membacakan surat tuntutan kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jam Pidum) Fadil Zumhana dalam rilisnya mengatakan pemberitaan terkait tuntutan terdakwa di berbagai media massa dan unggahan media sosial, serta opini dan polemik yang berkembang di masyarakat cenderung memberikan dampak negatif terhadap institusi.
Melalui Pusat Penerangan Hukum Kejagung menyampaikan pertimbangan hukum secara logis, yuridis dan akuntabel, yang dijadikan bahan pertimbangan oleh Penuntut Umum dalam membacakan surat tuntutan.
"Bahwa kami sangat menghargai berbagai komentar dan rasa empati terhadap korban, keluarga korban, dan para terdakwa yang selama ini berkembang di masyarakat baik pro maupun kontra terhadap surat tuntutan Penuntut Umum," katanya, Kamis (19/1/2023).
Fadil menyebut penentuan tinggi rendahnya tuntutan yang diajukan terhadap para terdakwa, mempertimbangkan berbagai persyaratan baik itu pelaku, korban, peran masing-masing para terdakwa, termasuk latar belakang para Terdakwa, dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
"Penilaian tuntutan bukan saja dilihat dari mens rea para terdakwa, tetapi kesamaan niat dan perbedaan peran dari masing-masing para terdakwa menjadi pertimbangan matang dalam menuntut para terdakwa sebagaimana dibuktikan dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," tambahnya.
Sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan kata Fadil, terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual (intelectual dader) telah dituntut dengan hukuman seumur hidup.
"Karena telah memerintahkan terdakwa Richard Eliezer atau Bharada E untuk mengeksekusi menghilangkan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat guna menyempurnakan pembunuhan berencana, sehingga terdakwa Bharada E dituntut 12 tahun penjara," ungkapnya.
Sementara terdakwa Putri Candrawathi terdakwa Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal Wibowo kata Fadil tidak secara langsung menyebabkan terjadinya penghilangan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
"Ketiga terdakwa sejak awal sudah mengetahui rencana pembunuhan tersebut, akan tetapi tidak berusaha mencegah untuk tidak terjadi pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat," katanya.
Sementara terkait rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap terdakwa Bharada E untuk mendapatkan justice collaborator telah diakomodir dalam surat tuntutan.
Sehingga Bharada E mendapatkan tuntutan pidana jauh lebih ringan dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual (intelectual dader).
"Terdakwa Richard Pudihang Lumiu adalah seorang bawahan yang taat kepada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah dan menjadi eksekutor dalam pembunuhan berencana tersebut," tuturnya.
Lebih lanjut Fadil mengatakan kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Delictum yang dilakukan oleh terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor yakni pelaku utama bukanlah sebagai penguak fakta utama sehingga peran kerja sama dari terdakwa Richard Eliezer sudah dipertimbangkan sebagai terdakwa yang kooperatif dalam surat tuntutan penuntut umum," katanya.
Sementara peran terdakwa sebagai pelaku utama yang menyebabkan sempurnanya tindak pidana pembunuhan berencana, tidak dapat direkomendasikan untuk mendapatkan justice collaborator sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, salah satunya justice collaborator adalah bukan pelaku utama.
"Proses persidangan masih berjalan, dan kemungkinan akan sampai pada upaya-upaya hukum ke tingkat Mahkamah Agung. Untuk itu, agar segenap masyarakat dan media menunggu bagian akhir dari putusan perkara dimaksud sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat," pungkasnya.(muu)
Load more