Selain potensi sanksi oleh AS, pembelian pesawat China menuntut pelatihan bagi pilot dan teknisi di darat terkait maintenance, penguasaan hardware dan software yang berbeda dengan pesawat-pesawat buatan AS atau Barat yang dioperasikan sebelumnya.
Pesawat-pesawat China juga belum teruji dalam pertempuran sesungguhnya (combat proven) dibandingkan pesawat tempur F-15 Eagle atau Tornado yang sudah dioperasikan puluhan negara dan diterjunkan misalnya dalam Perang Teluk atau misi-misi penegakan zona larangan terbang (no-fly zone) seperti di Bosnia dan Libya.
Sementara itu, China berdasarkan laporan SIPRI, masuk deretan lima besar (AS, Rusia, Prancis, China, dan Jerman) negara pengekspor senjata global sepanjang 2018 -2022.
Kelima negara tersebut menyumbang 76 persen ekspor senjata global yang nilai totalnya mencapai 2,24 triliun dolar AS pada 2022 atau naik 3,7 persen dari 2021.
SIPRI juga mencatat, ekspor persenjataan China pada periode 2010 – 2020 mencapai 16,6 miliar dolar AS, antara lain untuk memasok ke Nigeria, Angola, Pakistan, Bangladesh, dan Myamar.
Di pasar Timur Tengah, Tactical Report melaporkan, China terus meningkatkan ekspornya tidak hanya ke Arab Saudi, tetapi juga ke Mesir dan Uni Emirat Arab mulai dari rudal antikapal dan rudal pertahanan udara, artileri, tank. dan kapal cepat peluncur rudal.
Saudi juga bukan pelanggan baru persenjataan China, yang tercermin dari laporan SIPRI sebelumnya yang mengungkap pembelian 50 rudal balistik darat ke permukaan “pembunuh kapal induk” Dong-Feng DF 21 dan sejumlah drone atau pesawat nirawak CH-4B dan Wing Loong.
Load more