Jakarta, tvOnenews.com - Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa menemukan bahwa suhu permukaan laut sangat tinggi sepanjang 2023 dan awal 2024. Kondisi tersebut dapat memicu Badai dan cuaca ekstreem.
Perubahan tersebut rata-rata harian mencapai titik tertinggi mencapai 21,09 derajat celcius pada akhir Februari 2024. Bahkan, laporan terbaru menunjukkan bahwa lautan di seluruh dunia kini berada pada suhu terpanasnya.
Peneliti iklim Leon Simons kepada Kantor Berita Anadolu mengatakan bahwa kemunculan El Nino di Samudra Pasifik pada tahun lalu menyebabkan peningkatan pemanasan lautan dan atmosfer, sehingga memicu perubahan pola cuaca.
"Dengan suhu seluruh Samudra Atlantik yang tercatat hangat, hal itu akan meningkatkan suhu, terutama tahun ini dalam beberapa bulan mendatang," kata Simons.
Ilustrasi - Badai
"Dengan suhu yang lebih tinggi itu, badai dapat menjadi lebih kuat... (dan) Anda dapat mengalami banjir yang sangat besar seperti yang kita lihat di Libya, Yunani dan banyak lagi di berbagai belahan dunia pada tahun lalu."
Banjir tersebut, ia menjelaskan, disebabkan oleh meningkatnya curah hujan, yang terjadi ketika udara hangat menjadi dingin saat bergerak di atas daratan atau terutama di daerah tinggi seperti pegunungan.
Peneliti iklim lainnya, Joel Hirschi, mengatakan suhu di Atlantik "sangat tinggi." "Apabila suhu ini terus berlanjut hingga akhir tahun, setelah Mei-Juni hingga memasuki musim badai, hal itu dapat mendukung terciptanya musim badai yang sangat aktif, terutama sehubungan dengan melemahnya El Nino," katanya.
Pemanasan lautan yang belum pernah terjadi sebelumnya merupakan gabungan dari emisi gas rumah kaca, serta peristiwa El Nino yang kuat yang dimulai pada tahun lalu dan masih berlangsung saat ini, kata Hirschi, kepala permodelan sistem kelautan di Pusat Oseanografi Nasional Inggris.
Suhu yang sangat panas juga berkaitan dengan sirkulasi atmosfer, yang kondusif bagi berkembangnya "gelombang panas laut".
Bagi Simons, faktor kunci selain efek rumah kaca adalah pengurangan emisi sulfur, terutama dari sektor pelayaran dan pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Saat kita mengurangi polusi udara, lebih banyak sinar matahari yang bisa mencapai lautan. Lautan memanas lebih cepat, terutama ketika polusi udara telah berkurang di wilayah yang banyak dilalui pelayaran," kata Simons, peneliti iklim di Club of Rome, Belanda.
Dia menjelaskan bahwa Organisasi Maritim Internasional memperkenalkan peraturan baru pada 2020 untuk mengurangi 80 persen jumlah sulfur dalam bahan bakar yang digunakan untuk pelayaran.
"Karena sekarang emisi belerang jauh lebih sedikit, sinar matahari yang dipantulkan ke ruang angkasa oleh polusi udara ini menjadi jauh lebih sedikit," katanya, seraya menambahkan bahwa perubahan itu telah dibuktikan secara nyata oleh data satelit NASA.
Mengenai proyeksi beberapa bulan ke depan, Hirschi mengatakan El Nino yang mulai melemah kemungkinan akan beralih ke La Nina.
El Nino dan La Nina merupakan fenomena iklim yang berasal dari Samudra Pasifik namun dapat mempengaruhi cuaca di seluruh dunia.
El Nino terjadi ketika air hangat menumpuk dan mendorong suhu permukaan laut naik di atas rata-rata, sedangkan La Nina adalah kebalikannya, ketika air dingin meningkat dan menurunkan suhu air laut di bawah rata-rata.
Mereka adalah dua fase berbeda yang dikenal sebagai El Nino-Southern Oscillation atau ENSO, dan tidak akan pernah terjadi pada waktu yang bersamaan.
"La Nina diketahui mendukung kondisi yang kondusif bagi pembentukan siklon tropis di Atlantik Urata," kata Hirschi.
Daerah yang mungkin terkena dampak adalah negara-negara Amerika Tengah seperti Belize, Honduras, dan Meksiko, serta Amerika Serikat, termasuk wilayah selatan seperti Florida dan juga sebagian besar Pantai Timur.
Bisa juga sampai ke Kanada dan kadang-kadang bahkan kembali ke Eropa, Hirschi menambahkan.
Tanda-tanda awal terjadinya La Nina mulai terlihat di Pasifik. "Fase anomali La Nina adalah saat Anda cenderung mengalami kekeringan di Amerika Selatan dan cuaca menjadi lebih basah di Australia. Jadi, tahun-tahun La Nina mendukung terjadinya curah hujan yang sangat deras di Australia dan di wilayah Pasifik Barat," kata dia.
Salah satu dampak positif dari La Nina adalah suhu laut yang diperkirakan akan turun sedikit di bawah suhu pada tahun 2023.
Selain badai dan topan, akan ada lebih banyak kejadian cuaca ekstrem dalam beberapa bulan ke depan, kedua ilmuwan itu memperingatkan.
Salah satunya adalah gelombang panas, yang menurut Hirschi kini lebih sering dan intens, dengan catatan suhu panas yang terus memecahkan rekor, dan bukan dalam sepersekian derajat kenaikannya tetapi terkadang hingga tiga bahkan lima derajat Celcius.
Simons menyerukan langkah-langkah untuk "mempersiapkan diri menghadapi cuaca ekstrem di bulan-bulan mendatang."
"Kita harus mempersiapkan diri menghadapi banyaknya cuaca ekstrem yang tidak dapat diprediksi karena kita sekarang berada di dalam situasi di mana planet kita tidak pernah mengalaminya sebelumnya selama jutaan tahun, dengan konsentrasi gas rumah kaca sekarang yang lebih tinggi dari sebelumnya," kata dia. (ant/mii)
Load more