Jakarta – Pompeii, kota zaman Romawi Kuno yang terbenam oleh abu vulkanis Gunung Vesuvius kembali menjadi perbincangan, setelah peringatan letusan gunung yang terletak di Italia itu.
Gunung Vesuvius di Naples Italia, meletus pada 24 Agustus tahun 79 Masehi.
Penggalian situs dan studi vulkanologi, terutama pada akhir abad ke-20, telah menghasilkan rincian lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Pompeii ketika Vesuvius erupsi.
Dilansir dari situs Brittanica.com, tepat setelah tengah hari pada tanggal 24 Agustus, serpihan abu, batu apung, dan puing vulkanik lainnya mulai berjatuhan di Pompeii. Material vulkanis itu dengan cepat menutupi kota hingga kedalaman lebih dari 3 meter dan menyebabkan atap banyak rumah runtuh.
Lonjakan material piroklastik dan gas panas, yang dikenal sebagai nuées ardentes, mencapai tembok kota pada pagi hari tanggal 25 Agustus dan segera membuat sesak para penduduk yang tidak terbunuh oleh puing-puing yang berjatuhan.
Aliran piroklastik tambahan dan hujan abu mengikuti. Menambahkan selubung abu sedikitnya setinggi 2,7 meter, sehingga mengawetkan tubuh para penduduk yang tewas saat berlindung di rumah mereka. Abu tersebut juga menewaskan warga yang mencoba melarikan diri ke pantai atau berjalan menuju ke Stabia atau Nuceria.
Jadi Pompeii tetap terkubur di bawah lapisan batu apung dan abu sedalam 6 hingga 7 meter.
Selama 17 abad, selubung abu itu melindungi Pompeii dari vandalisme, penjarahan, serta efek destruktif dari iklim dan cuaca.
Penemuan Mayat Penduduk Pompeii
Selama penggalian di Pompeii, sisa-sisa lebih dari seribu korban letusan 79 M telah ditemukan. Situs pompeiisites.org menyebutkan, selama fase pertama letusan, penduduk yang tidak meninggalkan kota, terjebak di rumah atau tempat perlindungan mereka. Masyarakat Pompeii terkubur oleh hujan batu apung dan lapili, atau mereka terbunuh oleh atap dan dinding yang runtuh. Puing-puing vulkanik yang berjatuhan di Pompeiim tingginya mencapai sekitar tiga meter. Dari korban-korban tersebut, hanya tulang-belulang yang ditemukan.
Setelah itu, aliran piroklastik bersuhu tinggi menghantam kota dengan kecepatan tinggi dan memenuhi semua tempat yang belum ditelan oleh material vulkanik lainnya. Sehingga siapa pun yang masih berada di kota itu, mati seketika karena sengatan panas.
Mayat para korban ini tetap dalam posisi yang sama seperti ketika aliran piroklastik menghantam mereka. Lapisan abu yang terkalsifikasi membuat bentuk tubuh mereka tetap terjaga bahkan setelah bahan biologis terurai. Berkat metode yang disempurnakan oleh Giuseppe Fiorelli, sejak tahun 1863 sedikit lebih dari seratus gips telah dibuat.
Para korban yang ditampilkan dalam etalase logam dan kaca, dipajang di Museo Pompeiano (Museum Pompeii) pertama yang dibuka oleh Fiorelli pada tahun 1873-1874. Mereka menjadi bukti dari tragedi 79 Masehi. (act)
Load more