Jakarta - Penduduk sebuah kota di wilayah Xinjiang barat mengaku mengalami kelaparan. Pasalnya, pasokan pasokan obat-obatan dan kebutuhan sehari-hari mulai berkurang setelah lebih dari 40 hari menjalani masa lock down.
Ratusan postingan meramaikan media sosial pada minggu lalu. Para penduduk membagikan berbagai video seperti keadaan kulkas yang kosong, anak-anak mengalami demam, dan orang-orang berteriak dari jendela mereka. Mereka mengeluh karena dikirimi sayuran busuk dan ditolak untuk melakukan perawatan medis.
Berbeda dengan Shanghai, kota metropolis yang berkilauan dengan 20 juta orang, kondisi lockdown di kota-kota kecil seperti Ghulja kurang mendapat perhatian. Masa lockdown di Ghulja juga menimbulkan ketakutan akan kebrutalan polisi diantara orang-orang Uyghur, kelompok etnis Turki yang berasal dari Xinjiang.
Kondisi lockdown di Xinjiang sangat sulit, dengan pengobatan paksa, penangkapan, hingga para penduduk yang disemprot dengan disinfektan.
Yasinuf merupakan seorang mahasiswa di sebuah Universitas Eropa mengatakan, bahwa ibu mertuanya mengirim pesan suara yang menakutkan. Sang ibu mertua itu mengirim pesan suara dan mengatakan bahwa dia dipaksa untuk karantina karena batuk ringan.
“Ini hari penghakiman,” katanya, dalam rekaman audio yang ditinjau oleh The Associated Press, dikutip dari Ap Newsroom, Rabu (14/9/2022).
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mempercayai pencipta kita,” lanjutnya.
Yasinuf mengatakan bahwa orang tuanya memberitahukan bahwa mereka kehabisan persediaan makanan meskipun sebelumnya mereka telah mengisi persediaan sebelum masa lockdown.
Orang tua Yasinuf bertahan hidup dengan memakan adonan mentah yang terbuat dari bahan seadanya. Ia enggan memberitahu nama keluarganya karena takut akan pembalasan terhadap keluarganya.
Yasinuf mengaku dirinya tidak bisa fokus untuk belajar dan tidak tidur dalam beberapa hari terakhir karena memikirkan kerabatnya di Ghulja yang menyebabkan dirinya terjaga di malam hari.
“Suara mereka selalu ada di kepala saya,mengatakan hal-hal seperti saya lapar, tolong bantu kami,” katanya.
Lebih lanjut, dalam sebuah konferensi pers, Gubernur setempat meminta maaf atas kekurangan dalam tanggapan pemerintah terhadap virus corona. Meskipun pihak berwenang mengakui keluhan tersebut, tim sensor bekerja untuk membungkam mereka dengan menghapus beberapa postingan dari media sosial.
Beberapa orang di wilayah tersebut mengatakan kepada AP bahwa memposting online yang mencerminkan sifat lockdown yang mengerikan. Namun, mereka menolak untuk merinci situasi disana dengan alasan bahwa mereka takut akan pembalasan.
Pada Senin (12/9/2022) waktu setempat, polisi mengumumkan penangkapan enam orang karena menyebarkan desas-desus tentang lockdown, termasuk memposting tentang seorang anak yang meninggal dan dugaan bunuh diri. Karena hal itu dianggap mengganggu ketertiban sosial.
“Mereka yang melakukan hype, menyebarkan desas-desus dan membuat tuduhan yang tidak masuk akal harus ditangani sesuai dengan hukum.”
Di tempat lain di kota, penduduk di satu lingkungan mengeluh kelaparan dan kehilangan pengiriman makanan yang memicu gelombang komentar online. Kemudian Pejabat setempat meminta maaf dan mengatakan mereka telah melakukan upaya terbaik serta mengaku kewalahan dalam menangani.
“Karena kurangnya pengalaman dan metode yang tidak tepat,” ujar mereka dalam pemberitahuan publik, dikutip dari APNews, Rabu (14/9/2022).
“Pasokan kebutuhan dasar tidak cukup, membawa ketidaknyamanan bagi semua orang. Kami sangat menyesal,” tambahnya.(mg1/chm)
Load more