Bahkan, tiket termahal, Rp11 juta yang menjanjikan pemegangnya bisa melihat frontman Coldplay Chris Martin dari dekat, termasuk dari belakang panggung, paling cepat ludes.
Seorang ibu (mungkin berseloroh) membuat video pernyataan, meminta kaum milenial untuk tidak ikut tiket war Coldplay. Alasannya, toh secara usia kaum milenial dianggap masih punya banyak kesempatan.
Sementara sang ibu merasa ini waktu terakhirnya.
Saat ada “kerumunan”, pejabat tentu ingin ikut “manggung”. Saat ditanya wartawan soal kondisi politik bangsa, seorang Menteri justru mengeluh belum mendapatkan tiket Coldplay. Padahal ia dititipi anak dan istri.
“Co Coldplay, Ergo Sum.“ Aku menonton konser Coldplay, maka aku ada.
Menonton konser Coldplay-atau setidaknya ikut rebutan tiket dalam perang tiket–jadi ikhtiar untuk tidak hilang dari sirkel sirkel pertemanan terdekat. Istilahnya FOMO (fear of missing out) kata anak anak sekarang.
Tak ikut menonton Coldplay dampaknya bisa gawat bagi citra diri dalam jaringan pertemanan.
Besarnya minat memiliki tiket konser Coldplay tentu memancing kejahatan. Bareskrim Polri sampai harus menyidik kasus penipuan penjualan tiket pada sejumlah orang setelah melakukan patroli siber.
Awalnya dari sebuah pengakuan di akun medsos, seorang korban mengeluhkan tertipu oleh seseorang yang mengaku bisa mengusahakan tiket konser Coldplay. Setelah didalami ternyata korban-korban serupa cukup banyak.
Yang bukan pesohor juga bisa ikut serta dengan keriaan ini. Mereka cukup gembira membagikan tiket bertajuk Coldplay yang sebenarnya tiket bus. Atau tiket Coldplay yang pada kertasnya tertulis akan digelar di lapangan kecamatan terdekat.
Saya cukup terhibur ketika gurauan gurauan kreatif semacam ini berseliweran di group group percakapan yang saya ikuti.
Musik pop adalah anak kandung kebudayaan massa.
Load more