Pada mulanya saya percaya, dalam hidup setiap orang memiliki “medan perangnya” masing masing. Semua orang akan “memanggul nasibnya” sendiri sendiri.
“Nasib adalah kesunyian masing masing,” demikian penyair Chairil Anwar.
Namun, di hari hari ini, tiba tiba semua orang seperti memiliki medan tempur yang sama: berebut tiket konser Coldplay.
Pertunjukan memang baru akan digelar November nanti. Namun, hampir semua orang di berbagai kalangan telah membagikan sengitnya berebut tiket konser coldplay di laman story instagram-nya.
Mereka mencoba saat pagi, siang, hingga petang. Dan lalu berbangga membagikan kembali "kegagalan" atau "keberhasilan" memperoleh tiket pada akun medsos masing-masing.
Peter Harjani, CEO PK Entertainment, pihak penyelengara konser Coldplay di Jakarta memperlihatkan traffic massa yang menyerbu website loketcom hingga 1,7 juta pengunjung. Mereka tak hanya dari kota kota besar, semacam Jakarta, Bandung atau Surabaya, tetapi juga kota kota kecil seperti Padang, Manado, Kendari dan lainnya.
Tak heran jika 70 ribu tiket yang disiapkan panitia penyelenggara habis hanya dalam hitungan jam.
Bahkan, tiket termahal, Rp11 juta yang menjanjikan pemegangnya bisa melihat frontman Coldplay Chris Martin dari dekat, termasuk dari belakang panggung, paling cepat ludes.
Seorang ibu (mungkin berseloroh) membuat video pernyataan, meminta kaum milenial untuk tidak ikut tiket war Coldplay. Alasannya, toh secara usia kaum milenial dianggap masih punya banyak kesempatan.
Sementara sang ibu merasa ini waktu terakhirnya.
Saat ada “kerumunan”, pejabat tentu ingin ikut “manggung”. Saat ditanya wartawan soal kondisi politik bangsa, seorang Menteri justru mengeluh belum mendapatkan tiket Coldplay. Padahal ia dititipi anak dan istri.
“Co Coldplay, Ergo Sum.“ Aku menonton konser Coldplay, maka aku ada.
Menonton konser Coldplay-atau setidaknya ikut rebutan tiket dalam perang tiket–jadi ikhtiar untuk tidak hilang dari sirkel sirkel pertemanan terdekat. Istilahnya FOMO (fear of missing out) kata anak anak sekarang.
Tak ikut menonton Coldplay dampaknya bisa gawat bagi citra diri dalam jaringan pertemanan.
Besarnya minat memiliki tiket konser Coldplay tentu memancing kejahatan. Bareskrim Polri sampai harus menyidik kasus penipuan penjualan tiket pada sejumlah orang setelah melakukan patroli siber.
Awalnya dari sebuah pengakuan di akun medsos, seorang korban mengeluhkan tertipu oleh seseorang yang mengaku bisa mengusahakan tiket konser Coldplay. Setelah didalami ternyata korban-korban serupa cukup banyak.
Yang bukan pesohor juga bisa ikut serta dengan keriaan ini. Mereka cukup gembira membagikan tiket bertajuk Coldplay yang sebenarnya tiket bus. Atau tiket Coldplay yang pada kertasnya tertulis akan digelar di lapangan kecamatan terdekat.
Saya cukup terhibur ketika gurauan gurauan kreatif semacam ini berseliweran di group group percakapan yang saya ikuti.
Musik pop adalah anak kandung kebudayaan massa.
Semua kalangan merasa tumbuh dengan pengalaman yang sama, sehingga merasa wajib cawe cawe. Kelompok konservatif, diwakili Persaudaraan Alumni 212 bahkan mengancam akan mengepung bandara jika band asal Inggris ini benar benar datang ke Indonesia.
Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI pun menyatakan ketidaksetujuannya pada rencana konser Coldplay. Alasannya, band yang dibentuk di London pada 1997 ini dianggap mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Secara diametral, sikap ini disambut kelompok liberal di masyarakat.
Guntur Romli menyebut kelompok yang menolak kedatangan Coldplay sebagai munafik--sambil menuduh kelompok lain itu sebagai, belum mendapatkan “uang diam”. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengaku siap menurunkan pengamanan menjaga konser Coldplay.
Tiba tiba saja sebuah konser musik yang baru akan digelar di akhir tahun memancing perdebatan sejak enam bulan sebelumnya. Bagi saya ini mengingatkan pada polemik yang pernah terjadi sebelumnya, tapi saat itu dipicu oleh karya anak bangsa.
Presiden pertama Soekarno pernah melarang group musik pop Koes Plus karena ekspresi musiknya dianggap Barat dan dekaden. Musik Koes Plus distigma dengan musik "ngak ngik ngok" dan bertentangan dengan keinginan bangsa yang tengah menuntaskan revolusinya, termasuk pada bidang kebudayaan.
Zaman berganti, selera musik pun berbeda.
Saat Orde Baru, Menteri Penerangan Harmoko menyebut penyanyi pop semacam Betharia Sonata sebagai “cengeng” dan “bobrok”. Genre musik ini pun dilarang tampil di stasiun televisi satu satunya saat itu: TVRI.
Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara berbeda lagi seleranya. Ia merasa hanya musik dangdut-lah musik “asli” Indonesia dan bisa dijadikan alat mendefiniskan jati diri bangsa.
Saat polemik mengeras, saya jadi kangen dengan masa masa terbaik dalam hidup, ketika mengasup budaya pop dan melayu dari sebuah radio transistor jadul. Pada saat itu, apapun yang tengah saya kerjakan, menyelesaikan tugas dari orang tua ataupun tugas sekolah, harus selesai sebelum pukul 14:00 wib. Nyaris tak ada kompromi.
Setelah melaksanakan sholat ashar pada surau dekat rumah, saya akan berlari sekencang kencangnya untuk mendengarkan musik pop melayu dan atau dangdut yang diputar di Radio Galuh, stasiun radio favorit saya dan melegenda di Kota Tasik.
Saat itu group semacam Slam, Iklim atau Search asal Malaysia, atau penyanyi dangdut semacam Itje Trisnawati termasuk di dalamnya Rhoma Irama tentu saja, adalah pahlawan pahlawan masa muda saya.
Jasa terbesar Radio Galuh bagi saya adalah memberikan ingatan akan budaya pop melayu dan dangdut yang “berkeadilan”.
Saya, seorang anak kecil dari sebuah kota kecil merasa “egaliter” dan “setara” ketika mendengar musik pop yang tengah digandrungi banyak anak-anak muda di kota-kota lain. Kebudayaan pop lalu menjelma jadi “imajinasi kolektif” yang efektif menautkan banyak kalangan.
Budaya pop bisa jadi bagian menabung modal sosial untuk membangun solidaritas di masyarakat. Pasalnya, semua kalangan, sejak kaum jet set hingga rakyat jelata merasa memiliki ruang imajiner yang sama dan bisa diasup secara gratis.
Yang paling penting, radio melebatkan imajinasi di kepala saya.
Saya masih ingat dengan detil bagaimana pendongeng sunda legendaris Wa Kepoh seorang diri menghidupkan berbagai dialog: sejak suara bayi hingga perempuan tua; bahkan membangunkan imajinasi tentang suasana pagi di sebuah pedesaan, keriuhan sebuah pasar hingga angkernya sebuah hutan belantara.
Saya ingat, hingga SMP, saya bahkan merasa jagoan semacam Si Rawing yang didongengkan Wa Kepoh benar-benar ada.
Saya secara detil mencatat macam macam ajian sakti yang dimilikinya pada buku tulis kumal di sekolah. Saat bermain dengan kawan kawan di lapangan bola, tak jarang kami saling “menguji” kesaktian masing masing.
Singkatnya, hanya dengan radio, kepala dan batin saya penuh dan utuh.
Kelak saya juga jadi paham, sesungguhnya, Radio Galuh ikut menavigasi saya ketika melalui masa muda yang penuh gelora. Dongeng-dongeng Wa Kepoh membuat saya mengerti “moralitas” yang mungkin alpa diajarkan di bangku sekolah.
Saya paham benar dan salah, mengerti baik dan buruk, bisa survive melalui masa pubertas pada saat sekolah menengah, karena ingatan pada nilai-nilai yang dikandung dari dongengan Wa Kepoh.
Dengan caranya, Radio Galuh ikut menghidupi kebudayaan dan “bahasa ibu” bagi saya.
Ketika kini saya jadi manusia urban di Jakarta, saya tidak “limbung” dan “melayang layang” karena tak berjejak ke tanah atau tercerabut dari akar tradisi budaya leluhur. Sampai kapan pun, saya kini merasa tetap terhubung dengan budaya Sunda, budaya dan “bahasa ibu” saya.
Karenanya saya kaget dan merasa “berdosa” ketika beberapa tahun lalu mendapati sebagian “kenangan masa muda” ini teronggok pada sebuah ruko seadanya di Tasikmalaya, dengan perlengkapan berdebu, dan secara bisnis “mati segan hidup tak mau”. Saya dan keluarga lalu memutuskan mengakuisi radio ini karena sebagian imajinasi saya ikut dibentuk olehnya.
Bagi saya ini benda pusaka, heritage bagi masyarakat Tasikmalaya dan Priangan Timur yang harus dirawat sebisanya.
Saat ini, ketika ruang ruang sosial kita menjadi mengeras, saya jadi bertanya pada diri sendiri, apakah kedatangan Coldplay ke Jakarta merupakan berita baik atau berita buruk.
Sebagai anak bangsa, saya hanya bisa berharap, semoga kedatangan Coldplay berkah bagi bangsa, dan bukan sebaliknya. (KC)
Load more