Sepanjang perjalanan, dalam dengus nafas dan gemuruh suara talbiyah, simbah yang tak bisa bicara dalam Bahasa Indonesia terus saja menyebut “wolo wolo kuwoto”. Cengkok Jawanya melafazkan doa bahasa Arab, La haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah) dengan semampunya. Ia tahu Allah untuk siapa saja, termasuk Ia yang dari pedalaman Pulau Jawa.
Subhanallah.
Tidak lama, seorang pria muda ceking, kulitnya gelap, berambut ikal datang menghampiri. Dia memberikan kursi roda dan mempersilahkan Mbah Ruliyah duduk. Tak lama kemudian Simbah sudah diantar bus pengantar jamaah keluar dari area lontar jumroh. “Malaikat" kecil ini bahkan menolak pemberian beberapa real uang yang kami sodorkan. "La, la. Hada min fadli robbi," ujarnya sambil tersenyum.
Padahal, untuk sewa kursi roda selama melontar jumroh, biasanya jamaah harus merogoh kocek 900 hingga 1000 real. Akhirnya ia bisa saya antar bertemu rombongan di maktabnya. Ia terbata bata mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia yang didiktekan rekannya.
Saya selalu bergetar melihat kesalehan, asketisme orang orang biasa. Mereka yang hampir mempertaruhkan apa saja, agar bisa menggenapkan rukun Islamnya. Mereka baru bisa memenuhi panggilan Allah ketika sudah renta karena harus menabung puluhan tahun lamanya.
Tahun ini ada Mbah Harun dari Pamekasan, Madura yang berhaji di usia 119 tahun setelah menabung puluhan tahun untuk melunasi biaya ibadah haji.
Tubuhnya dinyatakan sehat setelah bertahun tahun ia berlatih berjalan kaki untuk menyiapkan perjalanan jauhnya. Ia juga mengaku tidak minum apapun selain air hangat dan hanya makan nasi jagung. Bahkan, setiba di Mekkah ketika petugas haji menyambutnya dengan menyodorkan kursi roda, Mbah Harun menolak. Ia seperti ingin menjalani sendiri semuanya.
Load more