Tiba tiba seluruh perjalanan hidup seperti diputar ulang. Tuhan terasa sangat dekat, seperti dalam sajak Abdul Hadi WM:
Tuhan, kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/ Aku panas dalam apimu.
Tuhan, kita begitu dekat/seperti kain dengan kapas/ Aku kapas dalam kainmu.
Keharuan itu juga punya banyak sekutu. Pada sekeliling, saya mudah mendapati orang orang yang tengah sesungukan. Seorang rekan jamaah bercerita pernah menyaksikan, seorang jamaah berkursi roda asal Timur Tengah seketika terkulai lemas menghembuskan nafas terakhir setelah berhadapan dengan Kabah. Emosi yang menggelegak membuat raganya moksa.
Saya jadi paham ketika dulu menghadiri tradisi selamatan mengantar ibadah haji di kampung.
Seorang Kiai akan memulai protokolnya biasanya dengan ucapan: "Hadirin, saudara kita, Fulan ini dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudah mudahan yang ditinggal dalam keadaan baik-baik…” Lalu kain ihram (mirip mori untuk membungkus jasad) disiapkan pada sebuah tas. Seluruh keluarga mengantarkan seolah yang akan pergi tak akan kembali lagi.
Demikian, ibadah haji bagi saya bukan hanya perkara ritual antara manusia dan Al Khalik, tetapi juga moment perjumpaan kemanusiaan, silaturahmi dan reuni akbar umat manusia.
Saya terkenang oleh wasiat Nabi Muhammad saw di Mina. Khutbah Nabi yang menggetarkan di Masjid Kheif yang kini dikenal sebagai khutbah haji wada (khutbah haji perpisahan) karena hanya beberapa hari setelah khutbah itu Nabi wafat.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya dengan hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara…” (KC)
Load more