Hari-hari ini, saat jutaan orang dari seluruh dunia berangkat menuju Tanah Suci, menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk menapaktilasi perjuangan para nabi, saya ingat Mbah Ruliyah.
Ia saya temui kelelahan saat hendak lontar jumrah, duduk sendirian, di antara lalu lalang lalang jutaan manusia yang bergerak terus menerus, mengalir deras seperti sungai raksasa.
Dalam gemuruh suara takbir, nenek renta ini seperti tak ingin menyerah. Wajahnya cemas, bingung. Ia sudah dua jam ditinggal rombongan.
Hatinya mendua: ia ingin melanjutkan ibadah sebisanya, namun ia juga sangsi, ada jutaan orang saling berimpit dengan tangan yang menggapai gapai, berusaha menghujani lingkaran kecil Jumrah dengan bebatuan.
Dan, tangis adalah bahasa. Ia menyapa lirih ketika saya melintas. "Kulo saking Semarang, kulo bade mulih, bingung, tulungi (saya dari Semarang, saya ingin pulang, bingung, tolong saya)," suara dan air mata menyembur bersamaan.
(Nenek Ruliyah sedang digendong saat menunaikan ibadah haji pada tahun 2018 lalu. Sumber: Istimewa)
Barangkali ia sudah lama berteriak, tapi suaranya tertelan ramainya lautan manusia yang datang dan pergi bergantian. Juga oleh suara Askar (laskar petugas ibadah haji) yang selalu memekik: "Ya Hajji, ya Hajji, musykilat, musykilat" meminta jamaah untuk segera minggir dari area jalan agar arus manusia lebih lancar.
Saya sebenarnya bisa acuh dan melanjutkan perjalanan ruhani sendiri. Ini ibadah haji, pertama saya. Saya ingin mereguk kenikmatan sedalam dalamnya.
Tapi tiba tiba seperti ada gugatan: apa ini teguran untuk saya? Bukankah selama ini saya hidup seringkali ditopang bantuan orang lain. Kenapa tak memberi bahu sekedar untuk menyender perempuan renta yang kelelahan?
Saya lalu memutuskan untuk mendampingi, mencarikan hotel tempat Mbah Ruli menginap, tapi ternyata cukup rumit. Baru beberapa meter saya papah, ia menjerit jerit tak kuat menahan sakit di kakinya. Ternyata, ia sudah berjalan sangat jauh sebelumnya.
Hanya ada dua pilihan: menggendong atau menunggu bantuan datangnya kursi roda yang mungkin akan sangat lama.
Saya memilih yang pertama. Saya yakinkan Mbah Ruli untuk memegang leher saya dari belakang dengan kedua tangannya. Hup, saya gendong ia ke punggung sambil kedua tangan saya memegang kedua paha bawah si mbah, menahan badannya agar tidak melorot.
Saya berjalan cukup lama, lebih dari 2 kilometer, mencari hotel tempat rombongan haji Mbah Ruli menginap. Sesekali tangannya sangat kencang mencekik leher sehingga saya sulit bernafas.
(Nenek Ruliyah sedang digendong saat menunaikan ibadah haji pada tahun 2018 lalu. Sumber: Istimewa)
Sepanjang perjalanan, dalam dengus nafas dan gemuruh suara talbiyah, simbah yang tak bisa bicara dalam Bahasa Indonesia terus saja menyebut “wolo wolo kuwoto”. Cengkok Jawanya melafazkan doa bahasa Arab, La haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah) dengan semampunya. Ia tahu Allah untuk siapa saja, termasuk Ia yang dari pedalaman Pulau Jawa.
Subhanallah.
Tidak lama, seorang pria muda ceking, kulitnya gelap, berambut ikal datang menghampiri. Dia memberikan kursi roda dan mempersilahkan Mbah Ruliyah duduk. Tak lama kemudian Simbah sudah diantar bus pengantar jamaah keluar dari area lontar jumroh. “Malaikat" kecil ini bahkan menolak pemberian beberapa real uang yang kami sodorkan. "La, la. Hada min fadli robbi," ujarnya sambil tersenyum.
Padahal, untuk sewa kursi roda selama melontar jumroh, biasanya jamaah harus merogoh kocek 900 hingga 1000 real. Akhirnya ia bisa saya antar bertemu rombongan di maktabnya. Ia terbata bata mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia yang didiktekan rekannya.
Saya selalu bergetar melihat kesalehan, asketisme orang orang biasa. Mereka yang hampir mempertaruhkan apa saja, agar bisa menggenapkan rukun Islamnya. Mereka baru bisa memenuhi panggilan Allah ketika sudah renta karena harus menabung puluhan tahun lamanya.
Tahun ini ada Mbah Harun dari Pamekasan, Madura yang berhaji di usia 119 tahun setelah menabung puluhan tahun untuk melunasi biaya ibadah haji.
Tubuhnya dinyatakan sehat setelah bertahun tahun ia berlatih berjalan kaki untuk menyiapkan perjalanan jauhnya. Ia juga mengaku tidak minum apapun selain air hangat dan hanya makan nasi jagung. Bahkan, setiba di Mekkah ketika petugas haji menyambutnya dengan menyodorkan kursi roda, Mbah Harun menolak. Ia seperti ingin menjalani sendiri semuanya.
Apa yang menautkan hati Mbah Ruliyah dan Mbah Harun pada Kabah?
Tiba tiba saya terngiang ngiang dengan ucapan Nurcholish Madjid tentang konsep hanifiyyat-u al-samhah, hati hati yang pasrah, terbuka, dan lapang mencari kebenaran. Kehanifan tertanam kuat di lubuk hati keduanya tanpa pernah diucapkan. Tak heran jika kehanifan mereka lalu bertaut pada Kabah, rumah suci yang dibangun kembali oleh “bapak kehanifan” Nabi Ibrahim pada 4.000 tahun lampau.
Padahal, kita tahu ibadah haji adalah ibadah fisik. Selama 40 hari, seluruh rukun rukunnya memerlukan kesiapan fisik yang prima. Berlari lari kecil (sai) di sekitar bukit Safa dan Marwah dengan cuaca terik kota Mekkah hingga 40 derazat; wukuf di Padang Arafah yang panasnya melebihi kota Mekkah atau tawaf mengelilingi Kabah di Masjidil Haram adalah perjuangan ibadah yang cukup berat.
Tapi Mbah Ruli dan Mbah Harun tak gentar. Barangkali mereka tahu agama ini selalu memberi ruang pada kemudahan dan kemoderatan.
Sebuah kisah mencatat Nabi memberikan sejumlah kemudahan yang dicatat oleh Abdulah bin Amr dengan detail. Pada pagi hari 10 Dzulhijjah 10 H di Mina, Nabi Muhammad SAW baru saja selesai melempar Jumratul-Aqabah. Seorang Sahabat berkata, “Ya Rasulullah, saya bercukur sebelum menyembelih,” Nabi berkata,”If al, la haraj. Lakukanlah, tidak apa apa.” Yang lain berkata,”Saya baru melempar setelah sore.” Kembali Nabi menjawab: “Laa haraj.” Puluhan orang bertanya, mengajukan cara berhaji termudah untuk mereka dan nabi selalu menjawab,” Laa Haraj.”
Yang tak terlupakan pada 2018 itu selain bertemu dengan Mbah Ruli, saya juga bisa berhaji bersama Ibu. Paling menggetarkan adalah ketika bersama ibu melihat Kabah.
Di depan bangunan kubus yang magis justru karena kesederhanaannya itu saya merasa luruh. Mata seketika hangat oleh lelehan air mata yang kita tahu bukan karena sedih atau putus asa. Saya hanya berdiri di belakang Ibu, sambil mengaminkan apapun doa-doanya.
Tiba tiba seluruh perjalanan hidup seperti diputar ulang. Tuhan terasa sangat dekat, seperti dalam sajak Abdul Hadi WM:
Tuhan, kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/ Aku panas dalam apimu.
Tuhan, kita begitu dekat/seperti kain dengan kapas/ Aku kapas dalam kainmu.
Keharuan itu juga punya banyak sekutu. Pada sekeliling, saya mudah mendapati orang orang yang tengah sesungukan. Seorang rekan jamaah bercerita pernah menyaksikan, seorang jamaah berkursi roda asal Timur Tengah seketika terkulai lemas menghembuskan nafas terakhir setelah berhadapan dengan Kabah. Emosi yang menggelegak membuat raganya moksa.
Saya jadi paham ketika dulu menghadiri tradisi selamatan mengantar ibadah haji di kampung.
Seorang Kiai akan memulai protokolnya biasanya dengan ucapan: "Hadirin, saudara kita, Fulan ini dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudah mudahan yang ditinggal dalam keadaan baik-baik…” Lalu kain ihram (mirip mori untuk membungkus jasad) disiapkan pada sebuah tas. Seluruh keluarga mengantarkan seolah yang akan pergi tak akan kembali lagi.
Demikian, ibadah haji bagi saya bukan hanya perkara ritual antara manusia dan Al Khalik, tetapi juga moment perjumpaan kemanusiaan, silaturahmi dan reuni akbar umat manusia.
Saya terkenang oleh wasiat Nabi Muhammad saw di Mina. Khutbah Nabi yang menggetarkan di Masjid Kheif yang kini dikenal sebagai khutbah haji wada (khutbah haji perpisahan) karena hanya beberapa hari setelah khutbah itu Nabi wafat.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya dengan hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara…” (KC)
Load more