Jakarta, tvOnenews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menggelar sidang putusan sistem pemilu hari ini, Kamis (15/6/2023).
Dalam pembacaan pertimbangan hakim MK atas putusan uji materi perkara Nomor: 114/PUU-XIX/2022 soal sistem pemilu, Hakim MK Suhartoyo menyebut bahwa berdasarkan sejarah konstitusi Indonesia tidak pernah mengatur soal jenis sistem pemilu yang akan digunakan dalam pemilu.
Menurut MK, pilihan sistem pemilu tersebut telah diatur oleh pembentuk Undang-Undang.
"Menimbang bahwa setelah membaca secara seksama ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, in case pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif," kata Hakim MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2023).
Bahkan, kata Suhartoyo, UUD 1945 hasil perubahan juga tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk legislatif.
"UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujar Suhartoyo.
Diketahui, hari ini MK membacakan putusan perkara Nomor: 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem pemilu. Pembacaan putusan ini dilakukan bersamaan dengan 5 putusan lainnya.
Permohonan perkara Nomor: 114/PUU-XIX/2022 diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono.
Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.
Para pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir digelar pada Selasa (23/5/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait.
Dalam perkara ini, MK telah menggelar sebanyak 16 kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan.
MK juga telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, presiden serta sejumlah Pihak Terkait yang terdiri dari KPU, Faturrahman dkk, Sarlotha Febiola dkk, Asnawi dkk, DPP Partai Garuda, Hermawi Taslim, Wibi Andrino, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, Wiliam Aditya Sarana, Muhammad Sholeh, DPP PBB, Derek Loupatty, Perludem Jansen Sitindaon.
MK juga mendengarkan keterangan sejumlah ahli yang diajukan Pemohon, Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda dan Partai NasDem. (rpi/nsi)
Load more