Jakarta, tvOnenews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai sistem proporsional terbuka atau coblos calon legislatif (caleg) pada pemilu lebih demokratis.
Selain itu, menurut MK, proporsional terbuka juga lebih adil bagi partai maupun calon yang akan mendapat dukungan.
Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi, Suhartoyo dalam sidang pleno pembacaan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem pemilu.
"Proporsional terbuka juga dinilai lebih demokratis, karena dalam sistem ini representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon. Sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon yang mendapatkan dukungan publik yang signifikan," ujar Hakim Suhartoyo di ruang sidang, Kamis (15/6/2023).
Selain itu, menurut Hakim Suhartoyo, dengan proporsional terbuka, kandidat calon legislatif dapat bersaing secara sehat agar memperoleh suara sebanyak mungkin dalam kontestasi pemilu.
"Kandidat calon anggota legislatif harus berusaha memperoleh suara sebanyak mungkin agar dapat memperoleh kursi di lembaga perwakilan. Hal ini mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka," ujar Hakim Suhartoyo.
Dari segi pemilih, lanjut Hakim Suhartoyo, dapat memilih langsung tanpa terikat oleh nomor urut yang telah ditetapkan oleh partai politik pendukungnya.
"Hal ini memberikan fleksibilitas pemilih untuk memilih calon yang mereka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka," kata Hakim.
"Pemilih memiliki kesempatan untuk melibatkan diri dalam penguasaan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih. Sehingga meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih," sambungnya.
Diketahui, hari ini MK membacakan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem pemilu. Pembacaan putusan ini dilakukan bersamaan dengan 5 putusan lainnya.
Permohonan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono.
Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.(rpi/muu)
Load more