Jakarta, tvOnenews.com - Ketua Demokrat Jakarta, Mujiyono menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan untuk menolak gugatan terkait sistem pemilu. Keputusan MK ini menjadi dasar penting agar penyelenggara Pemilu tetap menjalankan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024 nanti.
"Kami menyambut baik keputusan MK ini. Tentu, keputusan ini akan menaikkan kembali spirit bahwa suara rakyat suara Tuhan," ujar Mujiyono dalam keterangan tertulis, Kamis (15/6/2023).
Mujiyono menilai sistem proporsional terbuka menggambarkan kemajuan demokrasi Indonesia. Karena, ucapnya, setiap partai politik menawarkan nama-nama kepada rakyat untuk memilih wakilnya.
"Tentu, rakyat punya kesempatan untuk menentukan siapa orang yang menjadi pilihannya, yang menjadi kepercayaannya untuk mewakili," tegasnya.
Dalam Pemilu 2024 nanti, Demokrat Jakarta menargetkan bisa meraih 21 kursi di DPRD DKI Jakarta. Mujiyono mengaku optimis, target itu akan tercapai mengingat sejumlah bakal calon legislatif (Bacaleg) Demokrat Jakarta terus bekerja untuk rakyat di tengah polemik sistem pemilu yang berperkara di MK.
"Setelah adanya keputusan MK ini, semakin menguatkan kami untuk merebut kemenangan bersama, memenangkan hati, pikiran dan suara rakyat. Insya Allah, target 20 kursi DPRD DKI Jakarta tercapai," tegasnya.
Dalam sidang putusan gugatan sistem pemilu, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem sistem pemilu yang diajukan para penggugat. Gugatan itu disampaikan enam pihak, yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok).
Ke-6 pihak ini mengajukan gugatan pada 14 November 2022 lalu terhadap UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka. Mereka berharap MK mengembalikan ke sistem proporsional tertutup.
“Pemohon baik secara berkas dan sebagainya tidak relevan dan banyak kekurangan dan tidak bisa untuk ditindaklanjuti,” kata Anwar Usman melanjutkan.
Menurutnya, MK sudah meminta kepada para pemohon agar melengkapi kekurangan berkasnya yang diajukan sebagai objek untuk materi di persidangan. Namun, para pemohon menolak dan menilai persyaratannya sudah sesuai dengan yang diinginkan pemohon.
“Karena berdasarkan pertimbangan hukum dan aspek norma serta lainnya, usulan pemohon tidak bisa ditindaklanjuti dan prematur,” ucap Anwar Usman.
Para penggugat mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.
Pada pokok permohonannya, para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
Namun menurut hakim MK, bertumpu pada norma pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 khususnya pada kata 'terbuka'. Hakim konstitusi mengatakan, norma pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, yang dimohonkan para pemohon intinya menyatakan "Sistem pemilu [...] dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka." (ags/ebs)
Load more