Kurang dari sepekan setelah bertanding dengan Palestina, Timnas Indonesia juga akan menjamu tim kelas satu dunia: Argentina. Kali ini pertandingan akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.
Entah kebetulan atau tidak, kedua negara yang dihadapi Indonesia adalah negara yang secara serampangan dan diskriminatif disebut pengamat Barat sebagai “dunia ketiga,” sebuah terminologi bagi bangsa-bangsa yang pernah terjajah dengan kondisi masih “terbelakang” dan tengah berjuang mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan negara.
Argentina bagian dari Amerika Latin, sebuah benua yang sebagian besar anak anaknya menghabiskan waktunya di kebun kebun tebu dan tidur malam di pondokan di tepi sungai dari pada di sekolah. Mereka malas sekolah karena kelelahan bekerja. Tapi, yang lebih pasti: sekolah ternyata tak memperbaiki nasib secara jitu, pendidikan di ruang kelas tak mengubah jalan hidup, mimpi mimpi untuk jadi “kaya”, “terhormat” tak tercapai dengan membaca buku.
Karena itu pada 1978 di benua ini ada sekolah jenis lain: tahuichi. Sekolah bola di pinggir kota Santa Cruz hingga kini telah mendidik 10.000 anak anak miskin yang biasa bermain sepak bola di jalanan; bocah bocah dengan luka borok di sekujur kaki ternyata sangat lincah menggiring bola. Mereka hanya membayar uang sekolah 10 dollar sebulan, namun sebagian besar siswanya menunggak uang spp itu hingga bertahun tahun.
Bintang bintang sepak bola Amerika Latin, seperti Marco Etcheverry, Erwin Sanches hingga Ramiro Castillo adalah bocah bocah miskin yang direkrut oleh lembaga yang didirikan Ronaldo Aguilera, pengusaha kaya putra mantan pemain sepak bola Ramon Aguilera itu.
Dilahirkan dari ayah pekerja pabrik dan ibu seorang pembantu rumah tangga, bintang Argentina Lionel Messi misalnya tak mampu mengobati sakit kelenjar hormon pertumbuhan yang dideritanya ketika kecil di Rosario, Argentina.
(Pemain timnas Argentina Alejandro Garnacho (kedua kiri) mengikuti sesi latihan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (18/6/2023). Sumber: ANTARA)
Load more