Dengan kata lain, lewat risalahnya ia ingin masyarakatnya mengikis nilai nilai feodal dan mentalitas budak. Bagi Tan, budaya bangsa ini menjadi pasif dan akhirnya jadi pengikut demagog, karena tidak mengeksplorasi logika sains.
Tan Malaka memang beruntung lahir di alam Minangkabau. Di daerah nyiur melambai ini warganya dibebaskan menjadi apa saja. Orang tidak dilihat berdasarkan lapisan sosial, tapi lebih ke fungsi sosialnya. Ada kearifan lokal menyebut: “Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting”. Tak heran jika Tan tumbuh menjadi pemimpin pergerakan yang “berbeda”. Ia otentik, asli, eklektik, ---dalam bahasanya, ia Merdeka 100 Persen dari pengkubuan politik.
Tan Kerap berseberangan dengan Moskow atau dengan Musso, pimpinan CC PKI lain. Ia tak menampik bekerja sama dengan pan Islamisme yang saat itu tumbuh sebagai realitas politik, ia juga berusaha menggagalkan pemberontakan PKI pada 1926 yang disebutnya terlalu dini.
Tapi, Indonesia tak akan bisa diubah hanya lewat sebuah buku. Kita tahu saat itu, rakyat yang sengsara, hidup dalam krisis karena penjajahan Jepang, tetap memperlakukan pemimpin seperti menghadapi seorang ratu adil.
Saat pergi ke daerah daerah (terutama di Jawa), Soekarno, rekan Tan Malaka dalam revolusi kerap sisa makanannya diperebutkan penduduk. Piring dan gelasnya setelah digunakan Soekarno tak dicuci oleh sebagian masyarakat. Ada kepercayaan tertentu, entah magis, klenik atau religious. Meski tak disetujui Soekarno, apa boleh buat di alam pikir “tradisional” Soekarno tumbuh jadi mitos.
(Presiden RI ke 1, Soekarno. Dok: IPHHOS)
Cukup mengherankan “cara pandang” itu ternyata tetap utuh hingga abad 21. Sebuah reportase jurnalisme sastra yang indah dari George Quinn--- telah diterbitkan pada 2001 bertajuk Wali Berandal Tanah Jawa, mengulas bagaimana alam berpikir "tradisional" ternyata tetap hidup "laten" hingga kini.
Load more