Namun, pemujaan pada pemimpin juga marak di negeri komunis yang dipuja puja Tan Malaka.
Di atas sebuah bukit di pinggiran kota Pyongyang, berdiri tegak patung raksasa Kim Il Sung, bapak pendiri Korea Utara. Satu tangan patung setinggi 22 meter berwarna tembaga ini terangkat ke atas, seperti memberi “pemberkatan” bagi Ibu Kota di bawahnya. Hampir setiap saat di sekitar patung ini, anak anak sekolah merubung bagian kaki Kim Il Sung, sambil merapal doa-doa pujian bagi sang pemimpin yang seperti ingin dibuat abadi dengan patung itu.
Antrean panjang di Mausoleum Lenin di Lapangan Merah, Moskow Rusia juga bercerita hal yang sama: adanya rasionalisme yang absen, pemujaan yang berlebihan pada sosok pemimpin.
Orang orang tua—barangkali yang masih memimpikan kejayaan Uni Soviet, khusuk menyembah sosok Lenin yang sudah diawetkan jasadnya dalam kaca tebal. Atheisme yang dipromosikan hanya berhasil menghempaskan agama agama, tetapi pemujaan pada banyak hal (politheisme) justru tumbuh subur.
Kim Il Sung, Lenin atau Mao barangkali telah berhasil melepaskan rakyatnya dari belenggu, mungkin penjajahan atau penindasan penguasa lalim sebelumnya, meski pada akhirnya menciptakan siklus pemujaan yang sama. Dan kini kita jadi paham, hal yang umum terjadi pada Nazi Hitler atau fasisme Mussolini juga menimpa negara negara sosialis-komunis.
(Patung Lenin di Moscow.)
Load more