Pada 1943 terbit sebuah buku yang diniatkan menjadi palu godam untuk masyarakat. Judulnya Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika). Penulisnya Tan Malaka, tokoh pergerakan yang hampir 20 tahun memperjuangkan kemerdekaan lewat gerakan bawah tanah, klandestin.
Kita beruntung bisa membaca buku ini sekarang karena naskah berkali kali hendak disita kempetai Jepang dan asisten Wedana Pasar Minggu, ketika Tan Malaka menulisnya dari sebuah gubuk bambu di dekat pabrik sepatu di Rawajati. Tulisan Tan selamat karena disembunyikan di kandang ayam dan dijadikan ganjal meja ketika “sarang” Tan digeledah militer Jepang.
Saat menulis Madilog, Tan mengaku jengak dengan masyarakat sekelilingnya yang disebut terbelenggu budaya tradisional. Alam berpikirnya diliputi takhayul, klenik dan mistik. Sambil rutin mengunjungi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen--sekarang Museum Nasional-- untuk mencari referensi untuk bakal magnum opusnya, Tan memang kerap ngobrol dengan pemuda pemuda yang dilanda putus harapan mendapati Jepang yang pernah diagung-agungkan, ternyata bertindak sama kejam dengan penjajah sebelumnya.
Maka, penerbitan Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) seperti ingin mengubah cara berpikir rakyat agar radikal. Tan bermaksud mewariskan semua hasil perantauannya, bertamasya ke pemikiran rasional Barat, termasuk secara fisik mengalami kemiskinan dan penderitaan selama jadi klandestin.
(Cover buku Madilog, karya Tan Malaka.)
Dengan kata lain, lewat risalahnya ia ingin masyarakatnya mengikis nilai nilai feodal dan mentalitas budak. Bagi Tan, budaya bangsa ini menjadi pasif dan akhirnya jadi pengikut demagog, karena tidak mengeksplorasi logika sains.
Tan Malaka memang beruntung lahir di alam Minangkabau. Di daerah nyiur melambai ini warganya dibebaskan menjadi apa saja. Orang tidak dilihat berdasarkan lapisan sosial, tapi lebih ke fungsi sosialnya. Ada kearifan lokal menyebut: “Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting”. Tak heran jika Tan tumbuh menjadi pemimpin pergerakan yang “berbeda”. Ia otentik, asli, eklektik, ---dalam bahasanya, ia Merdeka 100 Persen dari pengkubuan politik.
Tan Kerap berseberangan dengan Moskow atau dengan Musso, pimpinan CC PKI lain. Ia tak menampik bekerja sama dengan pan Islamisme yang saat itu tumbuh sebagai realitas politik, ia juga berusaha menggagalkan pemberontakan PKI pada 1926 yang disebutnya terlalu dini.
Tapi, Indonesia tak akan bisa diubah hanya lewat sebuah buku. Kita tahu saat itu, rakyat yang sengsara, hidup dalam krisis karena penjajahan Jepang, tetap memperlakukan pemimpin seperti menghadapi seorang ratu adil.
Saat pergi ke daerah daerah (terutama di Jawa), Soekarno, rekan Tan Malaka dalam revolusi kerap sisa makanannya diperebutkan penduduk. Piring dan gelasnya setelah digunakan Soekarno tak dicuci oleh sebagian masyarakat. Ada kepercayaan tertentu, entah magis, klenik atau religious. Meski tak disetujui Soekarno, apa boleh buat di alam pikir “tradisional” Soekarno tumbuh jadi mitos.
(Presiden RI ke 1, Soekarno. Dok: IPHHOS)
Cukup mengherankan “cara pandang” itu ternyata tetap utuh hingga abad 21. Sebuah reportase jurnalisme sastra yang indah dari George Quinn--- telah diterbitkan pada 2001 bertajuk Wali Berandal Tanah Jawa, mengulas bagaimana alam berpikir "tradisional" ternyata tetap hidup "laten" hingga kini.
Lewat karyanya, secara imajinatif George berhasil menghubung-hubungkan cerita cerita lokal, mitologi, dongeng dongeng di banyak tempat ziarah di Pulau Jawa. Hasilnya, lempeng cara pandang, alam pikiran “lama” nyaris utuh, tak pernah hilang, laten, hidup dan dihidupi terus menerus.
Bahkan, di pusat kekuasaan ekonomi, politik yang terlihat rasional dan pragmatis di Jakarta, aktivitas warga di situs yang diyakini Makam Mbah Priok semakin semarak, meski sejumlah ahli, sejarawan, agamawan memberikan rekomendasi "ketidakbenaran" sejumlah data sejarah soal narasi di balik makam Mbah Priok.
Sejarah selalu aktual. Kini kita seperti diingatkan kembali dengan polemik Mahad Al Zaytun. Panji Gumilang mulanya dielu-elukan karena berhasil menemukan konsep pendidikan yang integral, menggabungkan kurikulum agama dengan negara dan meramunya dengan ilmu keterampilan hidup yang tak ada dalam sekolah sekolah negara.
Ada pelajaran bertani, berternak atau profesi profesi lain. Saat itu. berbondong-bondong kelas menengah Muslim mendaftarkan anak anaknya menjadi santri di sebuah kompleks pendidikan yang memiliki fasilitas sekolah yang lengkap dan megah di Indramayu, Jawa Barat.
Panji Gumilang lalu tumbuh jadi sosok sentral karena ia memang punya daya tarik. Ia seorang orator di podium. Alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu jelas seorang pembaca yang tekun. Pidato pidatonya banyak mengambil tradisi yang berbeda, seperti Ibrani, Nasrani, Islam.
(Pimpinan Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang)
Mulanya pengetahuan itu dipakai untuk kutipan khotbah khotbahnya. Lambat laun aneka kepercayaan dan aliran dicampurkan, dipraktekkan sehari hari dalam komunitasnya. Pendukungnya mungkin takjub, akhirnya digiring seperti umat untuk berbuat banyak hal sekehendak Panji Gumilang. Publik di luar pun marah karena tindakan tindakannya banyak menggoncang keyakinan yang telah mapan.
Namun, pemujaan pada pemimpin juga marak di negeri komunis yang dipuja puja Tan Malaka.
Di atas sebuah bukit di pinggiran kota Pyongyang, berdiri tegak patung raksasa Kim Il Sung, bapak pendiri Korea Utara. Satu tangan patung setinggi 22 meter berwarna tembaga ini terangkat ke atas, seperti memberi “pemberkatan” bagi Ibu Kota di bawahnya. Hampir setiap saat di sekitar patung ini, anak anak sekolah merubung bagian kaki Kim Il Sung, sambil merapal doa-doa pujian bagi sang pemimpin yang seperti ingin dibuat abadi dengan patung itu.
Antrean panjang di Mausoleum Lenin di Lapangan Merah, Moskow Rusia juga bercerita hal yang sama: adanya rasionalisme yang absen, pemujaan yang berlebihan pada sosok pemimpin.
Orang orang tua—barangkali yang masih memimpikan kejayaan Uni Soviet, khusuk menyembah sosok Lenin yang sudah diawetkan jasadnya dalam kaca tebal. Atheisme yang dipromosikan hanya berhasil menghempaskan agama agama, tetapi pemujaan pada banyak hal (politheisme) justru tumbuh subur.
Kim Il Sung, Lenin atau Mao barangkali telah berhasil melepaskan rakyatnya dari belenggu, mungkin penjajahan atau penindasan penguasa lalim sebelumnya, meski pada akhirnya menciptakan siklus pemujaan yang sama. Dan kini kita jadi paham, hal yang umum terjadi pada Nazi Hitler atau fasisme Mussolini juga menimpa negara negara sosialis-komunis.
(Patung Lenin di Moscow.)
Kultus juga terjadi di negeri yang konon pusat humanisme dan rasionalisme: Amerika Serikat. Futurolog Alvin Toffler pernah menyebut paling tidak ada 1000 aliran kultus keagamaan di negeri Abang Sam.
Seperti di mana saja, kultus selalu tumbuh subur dalam krisis. Orang orang yang merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup sehari-hari lalu mencari penguatan dan hiburan semu dari sosok sosok yang kuat.
Di Amerika Serikat puncaknya terjadi saat anak anak muda mengalami masa sulit setelah pecah Perang Vietnam. Bersamaan dengan gelombang new age, banyak anak anak muda jatuh pada gerakan yang mengkultuskan seseorang.
Kita tentu ingat pada David Koresh, seorang padri muda yang wajahnya mirip pemain band itu, berhasil mengumpulkan ratusan pemuja dan mendirikan sekte sempalan Gereja Advent. Saat digerebek petugas karena aktivitasnya yang melawan hukum, ia berhasil menyerukan pemujanya melawan petugas sebisanya. Ketika tank dan pasukan bersenjata masuk ke markas kelompok di Texas setelah pengepungan panjang selama 51 hari, Koresh juga berhasil membujuk pendukungnya untuk bunuh diri massal.
Publik Amerika terkaget kaget mendapati 86 orang tewas bersama, termasuk di antaranya 10 orang anak anak di sebuah bangunan yang terbakar.
Agaknya, demikian memang sifat manusia. mudah “terjerembab” pada menghamba wujud, mengagungkan yang fisik, yang terlihat.
Penyair sufi Amir Hamzah menyebut dalam salah satu potongan syairnya: “ Aku manusia, rindu rasa, rindu rupa. Dalam sejarah manusia, kita melihat manusia seringkali menciptakan tuhan tuhan lain, selain Tuhan Yang Maha Esa. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more