Dari Arafah saya dan jutaan manusia memandang tugu putih di atas bukit Jabal Rahmah di Padang Arafah. Bangunan beton tegak kokoh tepat diatas bukit batu terjal yang sangat saya rindukan, selalu ada dalam ingatan meskipun baru saja sekejap ditinggalkan, kekangenan sudah tak tertahankan.
Dulu, hanya dari mendengar dari suara merdu Acil Bimbo dari radio butut, saya bisa meneteskan air mata. “ada tugas berat selesai/ dua puluh tiga tahun/ terdengar dalam amanatnya/ di Jabal Rahmah.”
Saya memandang sekeliling, kota jadi putih oleh lautan tenda. Sebagian besar jamaah memang berada di tenda rombongan atau kloternya masing masing. Mereka pasti tengah menahan panas karena tenda mungkin tak berpenyejuk udara di Arafah. Namun, jamaah tengah mengerjakan ibadah unik: “berdiam”, laku sederhana yang sesungguhnya sangat sulit. Mengambil jarak dari segala gebalau pikiran bukan perkara mudah.
Menghamba di depan Sang Khalik bukan dengan cara biasanya, sujud, menahan rasa lapar, atau menginfakkan harta benda, tetapi dengan tafakur, merenung. Pikiran kita konsentrasikan hanya pada Zat yang Asal, Agung, Esa. Lisan tak berhenti berdzikir dan bertahmid.
Saya menikmati sekali proses “berhenti” sejenak di Arafah, sambil sesekali menghirup udara di luar tenda. Meski hawa panas seperti membakar kulit yang tak bisa dihalau oleh dua potong kain, tapi saya ingin melihat bukit Jabal Rahmah itu. Dari jauh penanda sejarah itu tetap gagah apalagi siang itu nyaris tak ada awan gelap.
Terlihat jutaan manusia dari berbagai bangsa, ras, suku, warna kulit hilir mudik di sekitarnya menapaktilasi lokasi pertemuan Adam dan Hawa, dua manusia pertama yang menjadi nenek moyang umat manusia. Jutaan manusia itu sedang menyambung tali yang diikat oleh persaudaraan yang sama, darah yang sama, tulang yang sama.
Memandang bukit Jabal Rahmah saya ingat ucapan Nabi, Al Hajj ‘Arafah. Haji adalah Arafah. Kenapa bukan Ka’bah, mungkin karena disinilah patok patok sejarah persaudaraan universal ditancapkan. Sangat jelas nilai emansipatoris Islam, bahwa semua manusia sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Walhasil, dosa pertama dalam penciptaan Allah adalah diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Iblis ketika menolak menyembah manusia hanya perkara diciptakan dari tanah.
Di lokasi ini pula diwariskan sebuah traktat Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikhotbahkan oleh Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai Khutbah Haji Wada jauh sebelum Barat mengenalnya. Pada saat Eropa masih menghalalkan pembunuhan dan inkuisisi, Nabi sudah berseru tentang hak-hak suci, perempuan dan laki laki yang dengan sangat halus diminta Nabi untuk disimak, bahkan disampaikan pada yang tidak hadir.
Sebuah riwayat juga menjelaskan betapa penting dan bersejarahnya makna Hari Arafah. Suatu kali Umar Bin Khattab disapa seorang Yahudi. “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam Al Quran, andai ayat itu diturunkan kepada kami (kaum yahudi), pasti akan kami jadikan hari itu sebagai hari raya.”
“Ayat apakah itu,” Tanya Umar.
“Al yauma akmaltu lakum dinakum” (Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian).
Kau benar. Hari itu sangat bersejarah, aku masih ingat betul ayat itu diturunkan pada sore hari Arafah,” ujar Umar.
Pidato Arafah jadi amanat terakhir Nabi ---tak lama setelah khutbah, Nabi wafat-- sekaligus inti ibadah haji karena mengandung nilai nilai kemanusian universial yang kini dikenal dengan Hak Asasi Manusia. Khutbah Nabi meringkas prinsip prinsip ajaran Islam selama 20 tahun berdakwah. Pertama, persamaan seluruh umat manusia. Bahwa tak ada klaim keunggulan berdasarkan faktor faktor kesukuan, kebangsaan dan warna kulit karena Tuhan seluruh umat manusia satu dan nenek moyang seluruh umat manusia sama: Adam dan Hawa. (QS.49:13)
Kedua, kehormatan, harta, nyawa dan darah manusia adalah suci. Asas ini mutlak tak bisa dilanggar, sebuah prinsip HAM yang paling mendasar. ”Barang siapa membunuh seseorang tanpa kesalahan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaimana membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa menolong hidup seseorang, maka bagaimana menolong hidup seluruh umat manusia”. (QS.5:32)
Ketiga, semua orang akan kembali kepada Allah dan Allah akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan masing masing secara mutlak. Tak ada dosa, kejahatan yang diwariskan. Kejahatan tidak akan menimpa kecuali oleh pelakunya sendiri.
Keempat, manusia tidak kembali menjadi sesat dan kafir dan saling bermusuhan. Tidak boleh saling menindas karena semua bentuk penindasan di zaman jahiliah dinyatakan batal, termasuk transaksi ekonomi berdasarkan riba.
Kelima, kewajiban memuliakan perempuan (istri). Ditegaskan wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik. Cendekiawan Islam Nurcholis Madjid menyebut Pidato Perpisahan Nabi di Arafah saat Haji Wada adalah bukti Islam adalah ajaran keagamaan yang sangat menghargai individu atas dasar prinsip egalitarianisme, demokratis, terbuka dan berkeadilan.
Saya masih menghirup udara dari di luar tenda sambil menatap tugu dari kejauhan di atas bukit itu. Hawa mulai terasa dingin saat malam hadir dan mulai terasa menampari wajah, angin mulai menusuk persendian. Samar saya kembali mengingat lirik suara Kang Acil Bimbo: “ada tugas berat selesai/ dua puluh tiga tahun/ terdengar dalam amanatnya/ di Jabal Rahmah..”
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more