Lanjut ungkap Najih Arromadloni bahwa pemberontakan atau upaya mendirikan Negara Islam Indonesia melalui jalur persenjataan sudah gagal pada tahun 1962.
Maka mereka kemudian berupaya bergerak melalui kegiatan-kegiatan sosial, misalnya yang dibangun adalah MIM (Masyarakat Indonesia Membangun).
Disinggung oleh Andromeda Mercury apakah ada kurikulum yang mungkin tidak dibuka ke publik, yang sampai sekarang menjadi misteri.
Merespons hal itu, Najih menyebut bahwa kurikulum yang digunakan Ponpes Al Zaytun ada 2 yakni kurikulum resmi dan hidden kurikulum.
"Ada unsur memang bahwa santrinya ini adalah orang-orang NII (Negara Islam Indonesia), anak-anak orang NII dan ada juga orang luar," ucapnya.
Untuk orang luar tidak diajarkan kurikulum NII, bahkan konon ketika beberapa orang pengen ikut baiat pun ditolak. "Maksudnya ketika ada anak santri yang bukan orang tuanya bukan NII, ingin baiat NII, itu tolak oleh Panji gumilang," terangnya.
"Jadi memang Panji Gumilang membuat satu sistem yang semacam itu, ada cluster-cluster yang yang boleh diketahui oleh umum, mana yang tidak boleh diketahui," tambahnya.
Maria Assegaf selaku pembawa acara Program Demokrasi menanyakan soal apa indikator dari sistem tersebut untuk membedakan anak-anak NII.
"Mungkin dulu posisinya mungkin 50 persen 50 persen kali dulu. NII 50 persen, yang non NII 50 persen, kalau sekarang mungkin sudah 90 persen, 90 persen santri di Al Zaytun Itu keluarga dari NII, anak-anak TNI yang yang umum sudah sudah sedikit sekali itu." tutupnya. (rka/ind/ree)
Load more