Setelah 9 Dzulhijjah, ribuan jamaah yang sibuk “tawaf” di pusat perbelanjaan semakin ramai. Apalagi dari Menara Zam Zam, Kabah juga terlihat jelas. Penguasa Mekkah memang terus membangun ikon ikon baru, berupa mall dengan ukuran bangunan gigantik, yang bagi saya, terasa seperti ingin “menyaingi” Ka'bah.
Namun, saya merasa ada yang tak terbeli oleh apapun, yaitu waktu. Saya memilih tetap ingin berlama lama di Masjidil Haram.
Saya jadi paham, kenapa Nabi memindahkan kiblat umat muslim dari Masjid Al Aqsa di Yerusalem ke Masjidil Haram di kota yang selain disebut metropolitan (Ummul Qura), dalam Al Quran Mekkah juga disebut sebagai al Balad-al Amin (kota yang aman). Entah kenapa, saya merasa betah dan ingin berlama lama di Masjid tertua di dunia ini. Rasa tenang, nyaman dan damai juga pastinya dirasakan jamaah lain.
Saya termasuk beruntung hanya beberapa langkah dari hotel menuju Masjidil Haram, ratusan ribu jamaah asal Indonesia memilih tetap sabar dan ikhlas karena jarak tempuh dari pemondokannya cukup jauh, berkilo meter untuk bisa menempelkan kening di lantai Masjidil Haram.
Justru karena jauh itulah, mereka menghabiskan sepanjang harinya di Masjidil Haram. Jika mereka sudah lelah berdzikir, sholat sunah dan sambil menunggu sholat waktu datangnya sholat wajib, tertidur di masjid yang hawanya selalu sejuk.
Sebagian jamaah, setiap tiba di Masjidil Haram, memilih untuk tawaf sunah, berputar mengelilingi Ka'bah berlawanan arah dengan jarum jam sebanyak tujuh kali. Tawaf adalah simbol persatuan umat Islam. Saat tawaf atau sholat di Masjidil Haram kita tak mengurusi lagi mana arah kiblat yang benar, si fulan shalat dengan tangan bersedekap di dada atau di perut, si anu tidak membaca surat atau ayat tertentu, semua tak lagi sibuk dengan hal furu'iyah karena sudah masuk ke dalam inti ajaran: pasrah menyatu pada Allah yang Maha Esa.
Load more