Setelah hampir dua pekan mendaki puncak spiritual, akhirnya saya dan jamaah haji pada umumnya, harus mengalami momen ini: tawaf wada, tawaf perpisahan. Setiap orang yang tengah jatuh cinta, akan terasa sesak ketika harus mengalami perpisahan.
Saya memandang sekeliling, ribuan orang di sekitar saya tampak seperti linglung. Mata mereka menatap seolah tak ingin berkedip hanya pada satu titik, multazam atau Baitullah.
Pada garis lurus ini, tiba tiba semua perjalanan haji terkenang lagi, sejak keberangkatan di tanah air, tiba di Tanah Suci Madinah, ziarah ke makam Nabi Muhammad saw, bertolak ke Tanah Suci Mekkah, melakukan tawaf, sai, wukuf di arafah hingga jumrah, dan kini tiba-tiba harus berpisah. Siapa yang tidak kehilangan? Saya memandang ke langit, gerombolan burung terbang berputar putar mengelilingi Kabah. Mereka seperti memberi pesan, kami tak akan lelah lelah mengitari pusat alam semesta ini.
Tiba tiba tanpa dikomando, mata hangat oleh air yang merembes perlahan tanpa bisa ditahan. Sebagian tampak memegangi apapun yang bisa diraih, tembok dinding kabah, hajar aswad, kiswah, atau apapun yang bisa diraih, sambil tersedu, (saya melihat beberapa yang menangis berlebihan, seperti meraung raung sampai harus ditegur askar).
Dengan hawa emosional itu, saya melanjutkan tawaf perpisahan ini, berputar tujuh kali mengelilingi Ka'bah tanpa harus sai, sambil berdoa dan lumayan bercucuran air mata. Ada perasaan sedih dan lega bersamaan: akan pergi meninggal Tanah Suci dan yakin tetap akan kembali kelak.
Tetap berada di Masjidil Haram, memandang Kabah sebisanya, sejelas jelasnyanya, sedekat dekatnya di hari hari setelah 9 Dzulhijjah, setelah melawati puncak dari rangkaian ibadah yang cukup berat secara fisik, jauh dari tanah air dan keluarga, bukan perjuangan mudah. Sebagian jamaah mungkin merasa sesekali menghibur, menyenangkan diri dengan tawaf di Menara Zam Zam atau Abraj Al Bait, bangunan megah hotel dan mall, dilengkapi dengan jam raksasa yang terletak persis di gerbang King Abdul Aziz Gate tak ada salahnya.
Setelah 9 Dzulhijjah, ribuan jamaah yang sibuk “tawaf” di pusat perbelanjaan semakin ramai. Apalagi dari Menara Zam Zam, Kabah juga terlihat jelas. Penguasa Mekkah memang terus membangun ikon ikon baru, berupa mall dengan ukuran bangunan gigantik, yang bagi saya, terasa seperti ingin “menyaingi” Ka'bah.
Namun, saya merasa ada yang tak terbeli oleh apapun, yaitu waktu. Saya memilih tetap ingin berlama lama di Masjidil Haram.
Saya jadi paham, kenapa Nabi memindahkan kiblat umat muslim dari Masjid Al Aqsa di Yerusalem ke Masjidil Haram di kota yang selain disebut metropolitan (Ummul Qura), dalam Al Quran Mekkah juga disebut sebagai al Balad-al Amin (kota yang aman). Entah kenapa, saya merasa betah dan ingin berlama lama di Masjid tertua di dunia ini. Rasa tenang, nyaman dan damai juga pastinya dirasakan jamaah lain.
Saya termasuk beruntung hanya beberapa langkah dari hotel menuju Masjidil Haram, ratusan ribu jamaah asal Indonesia memilih tetap sabar dan ikhlas karena jarak tempuh dari pemondokannya cukup jauh, berkilo meter untuk bisa menempelkan kening di lantai Masjidil Haram.
Justru karena jauh itulah, mereka menghabiskan sepanjang harinya di Masjidil Haram. Jika mereka sudah lelah berdzikir, sholat sunah dan sambil menunggu sholat waktu datangnya sholat wajib, tertidur di masjid yang hawanya selalu sejuk.
Sebagian jamaah, setiap tiba di Masjidil Haram, memilih untuk tawaf sunah, berputar mengelilingi Ka'bah berlawanan arah dengan jarum jam sebanyak tujuh kali. Tawaf adalah simbol persatuan umat Islam. Saat tawaf atau sholat di Masjidil Haram kita tak mengurusi lagi mana arah kiblat yang benar, si fulan shalat dengan tangan bersedekap di dada atau di perut, si anu tidak membaca surat atau ayat tertentu, semua tak lagi sibuk dengan hal furu'iyah karena sudah masuk ke dalam inti ajaran: pasrah menyatu pada Allah yang Maha Esa.
Saya teringat sebuah riwayat, suatu hari datanglah seorang laki-laki ke hadapan Imam Junaid al-Baghdadi.
Lelaki ini baru saja pulang haji. Maka sang Imam pun bertanya seputar apa yang sudah dilakukan lelaki itu selama berhaji.
“Ketika engkau mengelilingi Ka'bah (tawaf), apakah engkau sudah memandangi keindahan nonmateriil Tuhan di tempat-Nya yang suci?” tanya Imam Junaid al-Baghdadi.
“Tidak,” jawab lelaki itu.
“Berarti engkau tidak mengelilingi Ka'bah,” ujar Imam Junaid.
Demikian, seluruh rangkaian ibadah haji adalah simbolik, termasuk tawaf. Banyak ulama menyebut tawaf adalah hukum kosmis, sebuah prinsip prinsip alam semesta, sunnatullah. Ilmu pengetahuan dan sains membuktikan ternyata seluruh partikel di jagad raya, sejak atom hingga tata surya juga melakukan tawaf. Misalnya, bulan tawaf mengelilingi bumi, bumi juga tawaf mengelilingi matahari.
Ketundukan pada sang Khalik adalah makna tawaf yang dilakukan seluruh alam raya. Manusia harus menjadikannya titik orientasinya semata-mata hanya kepada Allah dalam setiap gerak dan langkahnya. Sebagaimana bumi berputar pada porosnya, manusia yang di jagat raya dan seisinya ini hanyalah debu kosmis. juga ikut berputar, tawaf, mengelilingi sang Maha Agung.
Ketika tawaf harus ada dalam kesadaran, bahwa kita bagian dari seluruh jagad raya yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah. Sekaligus gambaran akan larut dan leburnya manusia dalam hadirat Ilahi (al-fana fi Allah). "Jadi ke-aku-annya akan lebur dalam ke-Maha Agung-an Tuhan. Ketika melakukan thawaf, pandanglah keindahan non materiil Tuhan di 'tempat-Nya' yang suci," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan al-Qur’an ".
Diujung semua proses rangkaian ibadah haji ada ketauhidan dan kepasrahan total. Seperti kesaksian Ibrahim , bahwa shalat, ibadah, hidup, dan matinya semata-mata hanya untuk Allah. Allah SWT berfirman:
قُلۡ اِنَّ صَلَاتِىۡ وَنُسُكِىۡ وَ مَحۡيَاىَ وَمَمَاتِىۡ لِلّٰهِ رَبِّ الۡعٰلَمِيۡنَۙ لَا شَرِيۡكَ لَهٗۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ
"Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)." ( QS Al-An’am :162- 163).
Dengan sisa sisa energi, saya melanjutkan langkah langkah kecil, mengayunkan kaki satu demi satu, berputar melawan arah jarum jam mengelilingi Baitullah.
Mata saya sembab, tapi saya tahu, perputaran dengan kecepatan tinggi akan menciptakan gelombang elektromagnetik. Bagi saya tawaf ini akan menghasilkan energi besar untuk menghadapi sejumlah persoalan yang menuntut pemecahan di tanah air. Alhamdulilah, dengan energi baru saya merasa siap kembali ke kancah pergumulan masyarakat.
Saya kembali memandang burung-burung di angkasa yang seperti tak mau berhenti mengitari Kabah.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more