tvOnenews.com - Nama Panji Gumilang selaku pimpinan Ponpes Al-Zaytun menjadi perbincangan hangat publik belakangan ini, terutama soal ajaran dan pernyataan kontroversialnya.
Ponpes yang dipimpin oleh Panji Gumilang ini belakangan menuai beragam kritikan, mulai dari ajaran agama Islam yang diduga menyimpang hingga dikaitkan dengan Negara Islam Indonesia atau NII KW 9.
Ponpes Al-Zaytun Indramayu menjadi viral pertama kali setelah diketahui pada saat ibadah Salat Idul Fitri 1444 H mencampurkan jemaah wanita dan laki-laki dalam satu shaf hingga menjadi perbincangan publik.
Sementara itu, Mabes Polri membentuk tim khusus untuk mendalami dugaan penistaan agama yang dilakukan Pimpinan Ponpes Al-Zaytun, Panji Gumilang.
Soal Sejarah Ponpes Al-Zaytun dan keterkaitan dengan NII KW9
Najih Arromadloni bongkar sejarah hingga aliran yang dianut Ponpes Al-Zaytun.
M. Najih Arromadloni selaku pengamat pesantren hadir sebagai narasumber di program Catatan Demokrasi tvOne, ia mengungkapkan beberapa temuan dari penelitian non formal yang dilakukannya.
Hal itu didapatnya setelah interaksi dengan beberapa mantan pengurus dan alumni di Ponpes Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat.
"Ini sebetulnya kalau kita tilik sejarahnya, Al-Zaytun ini kan perkawinan dari NII dan ajaran isa bugis," ungkapnya yang dilansir Youtube ReligiOne.
Ia menuturkan bahwa Isa Bugis ini punya murid bernama Musadeq yang mendirikan Al-Qiyadah dan sebagai penerusnya muncul Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara).
"Makanya saya heran, kenapa Isa Bugis sudah ditindak, kemudian Musadeq juga sudah ditindak, tapi Panji Gumilang kok tetep berlarut-larut, ini kan persoalan yang harus kita sayangkan," ujarnya.
Lebih lanjut, pengurus pusat MUI Bidang Penanganan Terorisme ini menerangkan bahwa hampir 30 tahun, jika merujuk pertama kali Pesantren Al-Zaytun didirikan, antara 1996 hingga 1998.
Ia menilai bahwa persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, karena tidak ada ketegasan dari Pemerintah.
"Karena berpotensi jatuhnya (korban) masyarakat, tentu banyak masyarakat yang tertipu dengan ajaran-ajaran yang semacam ini," tutur M. Najih Arromadloni.
"Di sisi lain, kalau kita lihat juga kalau sekarang Al-Zaytun ini bukan samar-samar lagi, faktanya sudah terang benderang, bahkan Panji itu sudah mempropagandakan ajarannya ke publik," tambahnya.
Di mana hal itu sudah menjadi hal serius, karena jika telah masuk tahap mempropagandakan, efeknya akan ada konsekuensi yang luas.
Untuk itu, ia berharap adanya campur tangan dari pemerintah menindak tegas dan menyelidiki.
Al-Zaytun berkamuflase
Kemudian, M. Najih Arromadloni mengungkapkan bahwa kelompok seperti Al-Zaytun sangat pintar untuk berkamuflase.
"Orang melihat ada bendera merah putihnya, menyanyikan Indonesia Raya, meskipun stanza nya berbeda, lalu ada pendeta yang ikut salat, ini kan sebetulnya bagian dari kamuflase," terangkannya.
"Al-Zaytun sendiri sebetulnya adalah penjelmaan baru atau re-branding, atau reorganisasi dari NII kan," ujarnya.
Menurutnya, NII mengubah strategi dengan cara bermetamorfosis,"Dulu ada Kartosuwiryo, Daud Beureueh, ada Jaelani, kemudian dilanjutkan sekarang oleh Panji Gumilang," jelasnya.
Lanjut ungkap Najih Arromadloni bahwa pemberontakan atau upaya mendirikan Negara Islam Indonesia melalui jalur persenjataan sudah gagal pada tahun 1962.
Maka mereka kemudian berupaya bergerak melalui kegiatan-kegiatan sosial, misalnya yang dibangun adalah MIM (Masyarakat Indonesia Membangun).
Disinggung oleh Andromeda Mercury apakah ada kurikulum yang mungkin tidak dibuka ke publik, yang sampai sekarang menjadi misteri.
Merespons hal itu, Najih menyebut bahwa kurikulum yang digunakan Ponpes Al-Zaytun ada 2 yakni kurikulum resmi dan hidden kurikulum.
"Ada unsur memang bahwa santrinya ini adalah orang-orang NII (Negara Islam Indonesia), anak-anak orang NII dan ada juga orang luar," ucapnya.
Untuk orang luar tidak diajarkan kurikulum NII, bahkan konon ketika beberapa orang pengen ikut baiat pun ditolak.
"Maksudnya ketika ada anak santri yang bukan orang tuanya bukan NII, ingin baiat NII, itu tolak oleh Panji gumilang," terangnya.
"Jadi memang Panji Gumilang membuat satu sistem yang semacam itu, ada cluster-cluster yang yang boleh diketahui oleh umum, mana yang tidak boleh diketahui," tambahnya.
Maria Assegaf selaku pembawa acara Program Demokrasi menanyakan soal apa indikator dari sistem tersebut untuk membedakan anak-anak NII.
"Mungkin dulu posisinya mungkin 50 persen 50 persen kali dulu. NII 50 persen, yang non NII 50 persen, kalau sekarang mungkin sudah 90 persen, 90 persen santri di Al-Zaytun Itu keluarga dari NII, anak-anak TNI yang yang umum sudah sudah sedikit sekali itu." tutupnya. (ind)
Baca artikel terkini dari tvOnenews.com selengkapnya di Google News, Klik di sini
Load more