Dengan demikian, kata Niam, peristiwa pernikahan pada hakikatnya adalah peristiwa keagamaan.
Sementara itu, negara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan lewat pencatatan.
Menurut Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan dengan dalih UU Administrasi Kependudukan memberi ruang.
Sementara itu, pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan juga mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Dalam Islam, kata Niam, perkawinan beda agama itu terlarang.
"Jadi tidak ada celah untuk praktik perkawinan beda agama. Islam mengharamkan dan UU melarang. SE ini menegaskan larangan tersebut untuk dijadikan panduan hakim. Karenanya, pelaku, fasilitator dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum," katanya. (ant/nsi)
Load more