Ayahmu memang selalu terlihat sebagai orang tua yang cemas. Ada masa ayah memandangimu ketika tengah tertidur lelap, bertanya apa makna Tuhan menitipkan engkau 21 tahun lalu padaku-- yang serentak membuat banyak hal dalam hidup berubah menjadi kegembiraan, juga sedikit cemas? Kelak engkau juga akan memahami perasaan orang tua semacam ayah.
Bahkan Imam besar Al Ghazali pernah menulis risalah tipis Anak untuk menampung keresahannya saat menjadi ayah bagi putra putrinya.
Ayah tentu bangga ketika dengan yakin—terlihat dari sorot matamu—suatu pagi engkau bicara pada ayah, telah memilih akan menempuh studi komunikasi, pada sebuah kampus negeri terkemuka. Ayah belum punya keyakinan sekeras itu di usiamu, bahkan belum memiliki desain apapun dalam hidup ketika engkau telah fasih bercerita apa yang akan dikerjakan dan mesti dilakukan selanjutnya setelah sekolah menengah selesai.
Pilihanmu barangkali benar karena jurnalisme adalah fitrah, Nak. Mengasup informasi merupakan salah satu naluri dasar untuk hidup. Mengetahui peristiwa yang tidak disaksikan langsung dengan mata sendiri akan membuat manusia merasa aman. Barangkali karena itu nabi disebut sebagai pembawa pesan (messenger).
Bukankah kita menanyakan apa kabar ketika bertemu dengan teman yang lama tak dijumpai. Kita membangun hubungan personal, menentukan sirkel pertemanan seringkali berdasarkan bagaimana seseorang bereaksi ketika mendapatkan sebuah informasi, apakah mereka mengasup berita yang sama dengan kita, dan lain sebagainya.
Jhon Mc Cain, senator Amerika Serikat saat ditawan 5,5 tahun di Hanoi, Vietnam, dalam biografinya menulis, yang paling dirindukan bukanlah keluarga, makanan atau hiburan ketika disekap tentara Vietnam, tetapi informasi yang berkualitas, bebas sensor dengan jumlah yang berlimpah.
Pada praktek di Indonesia, media –terutama kapitalisme cetak, pernah begitu gemilang “membunuh” era raja raja, mengusir kolonialisme dan melahirkan negara bangsa yang kini kita tinggali. Jurnalisme dan berorganisasi jadi semangat zaman saat bangsa ini menapaki awal Abad 20.
Load more