Ayahmu memang selalu terlihat sebagai orang tua yang cemas. Ada masa ayah memandangimu ketika tengah tertidur lelap, bertanya apa makna Tuhan menitipkan engkau 21 tahun lalu padaku-- yang serentak membuat banyak hal dalam hidup berubah menjadi kegembiraan, juga sedikit cemas? Kelak engkau juga akan memahami perasaan orang tua semacam ayah.
Bahkan Imam besar Al Ghazali pernah menulis risalah tipis Anak untuk menampung keresahannya saat menjadi ayah bagi putra putrinya.
Ayah tentu bangga ketika dengan yakin—terlihat dari sorot matamu—suatu pagi engkau bicara pada ayah, telah memilih akan menempuh studi komunikasi, pada sebuah kampus negeri terkemuka. Ayah belum punya keyakinan sekeras itu di usiamu, bahkan belum memiliki desain apapun dalam hidup ketika engkau telah fasih bercerita apa yang akan dikerjakan dan mesti dilakukan selanjutnya setelah sekolah menengah selesai.
Pilihanmu barangkali benar karena jurnalisme adalah fitrah, Nak. Mengasup informasi merupakan salah satu naluri dasar untuk hidup. Mengetahui peristiwa yang tidak disaksikan langsung dengan mata sendiri akan membuat manusia merasa aman. Barangkali karena itu nabi disebut sebagai pembawa pesan (messenger).
Bukankah kita menanyakan apa kabar ketika bertemu dengan teman yang lama tak dijumpai. Kita membangun hubungan personal, menentukan sirkel pertemanan seringkali berdasarkan bagaimana seseorang bereaksi ketika mendapatkan sebuah informasi, apakah mereka mengasup berita yang sama dengan kita, dan lain sebagainya.
Jhon Mc Cain, senator Amerika Serikat saat ditawan 5,5 tahun di Hanoi, Vietnam, dalam biografinya menulis, yang paling dirindukan bukanlah keluarga, makanan atau hiburan ketika disekap tentara Vietnam, tetapi informasi yang berkualitas, bebas sensor dengan jumlah yang berlimpah.
Pada praktek di Indonesia, media –terutama kapitalisme cetak, pernah begitu gemilang “membunuh” era raja raja, mengusir kolonialisme dan melahirkan negara bangsa yang kini kita tinggali. Jurnalisme dan berorganisasi jadi semangat zaman saat bangsa ini menapaki awal Abad 20.
Engkau tak perlu heran jika semua pendiri bangsa, sejak Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka adalah penulis tangguh untuk banyak media yang bertumbuh seperti jamur di musim hujan. Nasionalisme, bayangan tentang komunitas imajiner itu bertaut lewat ribuan artikel di Sarekat Priyayi, Medan Prijaji, Poetri Hindia, Soenda Berita, Pembrita Betawi, Soeloeh Keadilan, Soeara Spoor & Tram, Oetoesan Hindia.
(RM Tirto Adi Suryo. Sumber: Wikipedia/Wikimedia)
Tokoh yang “menyeret” bangsa ini agar memasuki dunia modern dengan kepala tegak pada zaman bergerak (periode peralihan abad 19 menuju awal Abad 20) adalah wartawan: Tirto Adhi Soerjo.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang begitu gigih mengenalkan tokoh yang disebut sebagai Sang Pemula, menyatakan: “Belum pernah ada dalam seratus tahun, seorang pribumi yang karena pengetahuannya, ketajaman penanya dan kecakapan organisasinya, mempersatukan ribuan orang tanpa mengatasnamakan raja, nabi, wali, tokoh wayang, maupun iblis, hanya: Tirto Adhi Soerjo,” ujar Pramoedya.
Namun, masa pers perjuangan, pers bagian dari “peluru” untuk melawan penjajah telah lewat. Kini yang akan kamu hadapi adalah internet yang membawa “gelombang pasang” informasi. Kini kita semakin terbiasa melihat berita diproduksi oleh siapa saja.
Lembaga lembaga non jurnalisme mengkomodifikasi berita sedemikian rupa hanya untuk mengeruk keuntungan semata. Warga membaca berita berdasarkan minatnya sendiri sendiri yang dibentuk oleh kebiasaannya. Berdasarkan algoritma seleranya akan disederhanakan: ia akan terus dipaksa mengonsumsi berita sejenis selama ia tak memiliki minat memahami berita jenis lain. Di sini pertentangan akan semakin tajam, diametral, dramatis, namun dirawat sebisanya karena di sana berkait dengan dunia usaha.
Ancaman lain adalah homogennya konten, hilangnya peran agenda setting pada lembaga jurnalisme, semua orang bisa menciptakan sendiri apa yang dianggapnya penting dan relevan. Belum lagi monopoli ruang-ruang maya oleh korporasi dunia membuat jomplangnya produksi dan distribusi informasi.
Anakku, Alika, kini wartawan hampir tak bisa mengenali lagi praktek kerjanya. “Di ruang redaksi kita tak lagi berbicara tentang jurnalisme,” ujar Max King, redaktur Philadelphia Inquirer ketika berkumpul bersama 25 wartawan terkemuka di dunia di Harvard Faculty Club ---semoga suatu hari engkau bisa studi di sana—-- yang tengah krisis keyakinan.
Dalam konteks ini, inisiatif Bill Kovach dan Tom Rosenstiel lewat Committee of Concerned Journalist yang berusaha merangkum diskusi penting itu dan mengaktualisasikan lagi nilai nilai tradisional jurnalisme lewat Sembilan Elemen Jurnalisme sangat penting.
Jika engkau serius akan menapaki jalan jurnalisme, menurut Bill Kovach, itu sebenarnya bukan sebuah jalan lempang. Salah satu jalan mendaki itu adalah disiplin verifikasi. Engkau harus membuktikan apapun klaim informasi di lapangan layaknya seorang ilmuwan menguji teori teorinya pada ruang laboratorium.
Profesi ini pertama tama adalah digerakkan oleh kaki, setelahnya baru kepala. Berdiam saja di kantor hanya cocok untuk “wartawan salon” yang gemar menulis berita dari jumpa pers. Tak ada informasi apapun yang berkualitas dari fakta jenis ini.
Seperti yang dikatakan penyair Rendra, Engkau harus “turun sendiri ke jalan, mencatat semua gejala”. Segera terbayang apa yang akan engkau jalani, seperti yang pernah Ayah alami berhari hari menunggu gelondongan kayu kayu hasil pembalakan liar dihanyutkan di sebuah sungai deras di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah; menyelinap ke penjara Nusakambangan mewawancarai trio Bom Bali I dan menyaksikan bagaimana tahanan kelas kakap menghabiskan hari hari hukumannya di penjara dengan penjagaan super ketat; atau duduk dan minum kopi dengan pelaku besar kejahatan narkoba semacam Almarhum Fredy Budiman.
Iya laboratorium seorang wartawan adalah kehidupan manusia dan segala isinya, alam semesta luas dan segala peradabannya.
Prasangka adalah hal yang harus jeli engkau siangi, karena ia menyelinap di antara pemahamanmu pada fakta fakta. Latar belakangmu, caramu memandang hidup, kepercayaan, ideologi, agama jadi titik masuk prasangka. “Engkau harus kritis sejak dalam pikiran, dilanjutkan ke dalam perbuatan,” mengutip ucapan Jean Marais, sahabat Minke dalam novel babon Bumi Manusia.
Peristiwa pembunuhan pada wilayah kumuh, tak lalu pelakunya adalah salah seorang dari warga kampung miskin itu. Pelaku pengeboman adalah kelompok Islam garis keras. Pemahaman kelompok anu sempit, kelompok anu lebih jembar.
Kesimpulan kesimpulan semacam itu hanya cocok untuk teori konspirasi, Jurnalisme adalah usaha rendah hati untuk mengungkap kebenaran dengan bertanya terus menerus bukan mengejar kesimpulan kesimpulan. Engkau bagian orang yang harus paham terlebih dahulu, sebelum menjelaskan pada publik yang lebih luas.
(Dok. Peristiwa Kudatuli di Jakarta. Sumber: Istimewa)
Pada bulan ini 27 tahun lalu, misalnya, kantor PDIP yang diduduki berhari hari oleh pendukung Megawati Soekarnoputri diserbu oleh tentara yang menyamar. Bentrok sengit yang menjadi titik api perlawanan pertama yang lebih frontal pada kekuasaan Presiden Soeharto. Desas desus beredar, ada banjir darah, ada laporan ratusan korban tewas --yang kabarnya langsung dievakuasi tentara.
Namun, sebuah berita di Majalah Forum membuktikan sebaliknya. Lukas Luwarso, nama wartawan itu, ketika suatu pagi masuk ke kantor sesaat setelah penyerbuan tak menemukan sesuatu yang mengerikan. Meski ia seorang aktivis yang aktif ingin ikut mendongkel Soeharto, ia memberitakan apa adanya. Fakta hal yang suci bagi wartawan, dengan menjaganya, integritas jurnalistik Lukas tak terusik oleh afirmasi perjuangannya. Kita kini mungkin membacanya dengan mudah, tapi ketika engkau mengalaminya suatu saat kelak, percayalah itu sebuah pergulatan batin yang sulit.
Anakku, Alika, tanpa engkau ketahui, ayah sering melihatmu dari jauh saat menulis di depan komputer-- mungkin tengah merangkai kata, atau berpikir keras untuk memahami peristiwa --, sambil membayangkan skema pers macam apa yang akan engkau hadapi saat ini.
Bertindak profesional memang bisa punya resiko. Menulis berita yang jujur, apa adanya, sesuai fakta, tak ingin tulisan hanya sebagai “bedak” untuk menutup “bopeng” muka penguasa, membuat wartawan pada akhirnya berperan seperti “lalat pengganggu”.
Penguasa dengan pikiran yang majal, misalnya akan memahami lalat sebagai tak hanya harus digusah, tapi mesti disemprot pestisida. Mereka sebenarnya marah pada wajah yang ditampilkan di cermin, namun dengan salah sangka memecahkannya karena “sang cermin” telah menampilkan wajahnya yang sebenarnya. Seperti kata tamsil, buruk muka, cermin dibelah.
Maka ancaman kekerasan fisik tetap sesuatu yang akrab bagi wartawan, di Meksiko, Jakarta mau pun di pedalaman Sulawesi Tenggara. Wartawan yang tengah meliput sebuah diskusi Generasi Muda Partai Golkar di Jakarta tiba tiba diserang centeng yang merangsek ke lokasi acara.
Baru baru ini polisi mengungkap kasus penikaman seorang wartawan lokal di Baubau oleh orang suruhan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Buton Selatan. Sekdis, otak penikaman, mengaku menyuruh membunuh hanya karena kesal dengan berita berita yang ditulis korban. Ia tak merasa cara untuk mengatasi persoalan adalah dengan memperbaiki kinerjanya terus menerus, bukan “memecahkan” cerminnya.
Demikian, anakku, Alika, jalan yang akan engkau tempuh memang bukan jalan yang lempang, maafkan jika ayahmu terus terusan cemas.
(Ecep Suwardaniyasa)
Load more