Jakarta, tvOnenews.com - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mendukung rencana amendemen UUD 1945 untuk memasukkan pokok-pokok haluan negara (PPHN).
“Ini kan proses pemilu ini sedang berproses dalam waktu yang dekat kita sudah pemilu 2024, sudah pilpres, sehingga ya menurut saya sebaiknya proses itu setelah pemilu,” kata Jokowi di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (18/8/2023).
Dia mengatakan PPHN memang penting untuk memberikan arah masa depan bangsa.
“PPHN ini kan penting untuk memberikan arah, memberikan panduan karena di situ ada pokok-pokok haluan,” katanya.
Selain itu, Jokowi menyampaikan PPHN juga memberikan fleksibilitas kepada eksekutif. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Tadi saya sampaikan dan memang PPHN bagi Pak Ketua MPR menyampaikan memang berisi filosofis tidak detail sehingga memberiksn fleksibilitas pada eksekutif,” tandas Jokowi.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet)
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyinggung soal status MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Hal itu disampaikan Bamsoet dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD Tahun 2023.
Bamsoet menilai lembaga MPR idealnya dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Saat ini, lembaga MPR menjadi salah satu lembaga tinggi negara.
“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” kata Bamsoet di Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (16/8/2023).
Dia mengatakan setelah 25 tahun sejak era reformasi 1998, harus direnungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara termasuk MPR RI. Dia lantas menyinggung Pemilu yang hanya diselenggarakan lima tahun sekali sesuai UUD 1945.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika terjadi hal di luar dugaan menjelang Pemilu, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilu tak dapat diselenggarakan tepat waktu.
“Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” ujarnya.
“Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda,” lanjut Bamsoet.
Bamsoet menyebut masalah tersebut belum ada jalan keluar konstitusionalnya setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurutnya hal itu perlu perhatian serius dengan mempertimbangkan kewenangan MPR dikembalikan seperti dulu. Yakni, MPR memiliki kewenangan memilih dan melantik presiden dan wakil presiden terpilih.
“Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara,” tandas Bamsoet. (saa/mii)
Load more