Jakarta, tvOnenews.com - Ahli hukum tata negara sekaligus akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (FH UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid, menggugat usia minimal hakim konstitusi. Saat ini usia minimal 55 tahun dan diminta Fahri Bachmid diubah menjadi 40 tahun.
"Perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang dilakukan pembentuk undang-undang, dalam dua kali perubahan undang-undang, terhadap syarat minimal usia menjadi hakim konstitusi selalu dilakukan perubahan tanpa alasan dan penjelasan yang jelas dan mendasar secara akademik dan reasonable," kata Dr Fahri Bachmid dalam keterangannya, Kamis (24/8/2023).
Dr Fahri Bachmid memberikan kuasa kepada advokat Viktor Santoso Tandiasa, Agustiar, dan Nur Rizqi Khafifah dari Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultants. Berikut batas minimal hakim konstitusi di UU yang telah ada:
-UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (1) huruf c yaitu minimal 40 tahun
-UU No. 8 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) huruf d, berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan
-UU No. 7 Tahun 2020 Pasal 15 ayat (2) huruf d, berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.
"Dan kondisi saat ini UU 7/2020 pun sedang dalam proses perubahan dim ana terhadap syarat minimal usia untuk dapat mencalonkan sebagai hakim Konstitusi menjadi salah satu pasal yang masuk dalam rencana perubahan dari usia 55 berpotensi akan diubah dan dinaikkan menjadi 60 tahun," ungkapnya.
Fahri Bachmid berpendapat perubahan demi perubahan yang terus terjadi tentunya menciptakan ketidakpastian hukum yang adil. Di mana semakin jauh dan semakin lama untuk dapat menjadi hakim konstitusi serta tidak ada kepastian hukum karena cenderung sering terjadi perubahan-perubahan.
"Dan dalam batas penalaran yang wajar, suatu ketika ketika saya menjadi hakim konstitusi, tentunya akan mengalami keadaan yang sama, yakni mendapatkan ketidakpastian hukum atas perubahan-perubahan usia minimal menjadi hakim konstitusi ataupun usia maksimal menjadi hakim konstitusi," bebernya.
Fahri Bachmid mengutip pendapat Saldi Isra dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 pada bagian concurring opinion:
Bahwa ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang yang sering kali mengubah persyaratan usia minimum ataupun maksimum bagi pejabat publik yang telah diatur di dalam undang-undang tanpa memiliki landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas. Hal ini mengakibatkan potensial terjadinya ketidakpastian hukum bagi pejabat publik yang terkait, baik yang berkenaan dengan masa jabatannya ataupun yang berkenaan dengan kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya, Ketidakpastian hukum ini kemudian dapat juga berimbas pada terganggunya kinerja pejabat negara yang bersangkutan, bahkan juga terhadap kinerja lembaga negara ataupun institusi yang dipimpinnya.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa terhadap adanya pengaturan syarat usia minimum ataupun maksimum dalam UU 7/2020 haruslah ditetapkan menjadi syarat yang tetap dan tidak berubah-ubah setidaknya perlu adanya landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas untuk mengubahnya.
"Karena apabila tidak dinyatakan demikian, maka dapat saja kewenangan pembentuk undang-undang dapat menjadi upaya politik dalam proses bargaining terhadap kepentingan pembentuk undang-undang atas lembaga tersebut. Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun Lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensi serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya," tutup Fahri Bachmid. (ebs)
Load more