tvOnenews.com - Untuk menjalankan sejumlah misi rahasianya, Partai Komunis Indonesia (PKI ) dalam membangun pengaruhnya di Indonesia, membentuk sebuah Biro Khusus yang memiliki garis komando langsung pada Aidit sebagai pimpinan tertinggi PKI.
John Rossa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto", diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Januari 2008, mengatakan, Biro Khusus ini dipimpin oleh Sjam Kamaruzaman, dengan Pono sebagai wakilnya.
Dalam menjalankan misi tersebut, Biro Khusus PKI telah membagikan tugas kepada masing-masing anggotanya.
Pemimpin Partai Komunis Indonesia DN Aidit (istimewa)
Sjam Kamaruzaman sebagai pimpinan bertugas mencari orang-orang yang bersimpati pada PKI di Angkatan Darat, sedangkan wakilnya Pono mencarinya di Angkatan Laut dan Kepolisian.
Kemudian anggota lainnya, Walujo, bertugas di bidang urusan intelijen dan keuangan, dan mencari anggota di kalangan Angkatan Udara. Struktur organisasi Biro Chusus itu terdiri dari Biro Pusat di Jakarta, Biro-Biro Regional di semua provinsi.
Para koordinator dan tutor, kemudian mendidik para rekrutmen di dalam tubuh angkatan bersenjata, serta kelompok dan sel yang berfungsi di dalamnya.
Biro-Biro Regional itu masing-masing terdiri dari 2-3 pemimpin, yang telah merekrut jumlah personalia Angkatan Bersenjata dan orang-orang lain, untuk meningkatkan kepentingan PKI.
"Ia memiliki 44 orang anggota tetap yang bekerja di 12 provinsi negeri itu, karena telah merekrut kira-kira 700 perwira dari berbagai angkatan bersenjata, untuk memperkuat garis kebijakan partai." ungkap Rossa.
Menurut Rossa, sumber utama keuangan Biro itu adalah Aidit, yang secara rahasia menempatkan dana operasional melalui investasi dalam berbagai usaha dagang, seperti bengkel dan reparasi mobil, toko-toko bahan bangunan dan kontraktor, toko-toko yang memasok berbagai barang dari logam, taksi dan angkutan bus, apotek dan usaha-usaha lainnya.
Biro itu dilarang menggunakan semua fasilitas yang menjadi milik partai, dan pengelolaannya diringkas sampai sekecil mungkin untuk menghindari catatan tertulis yang terlalu banyak.
Sjam Kamaruzaman - Dok.Salim Said dan Wikipedia
Anggota Biro Khusus itu menerima gaji dan kompensasi untuk membayar perumahan, ongkos pengobatan, serta pengeluaran-pengeluaran pribadi yang lain, dan biasanya memiliki sebuah pekerjaan tetap untuk kamuflase.
Mereka juga dilarang tampil di pertemuan-pertemuan umum yang diadakan partai, juga dilarang berhubungan dalam bentuk apapun dengan anggota partai yang biasa.
"Kebanyakan dari mereka bekerja dalam lembaga yang berbeda-beda dengan menggunakan nama-nama palsu, beberapa di antaranya dikenal memiliki empat
atau lima nama alias, sebagaimana kemudian ditunjukkan oleh notulen pengadilan militer yang mengadili mereka" tulis Rossa.
Sosok Misterius Sjam Kamaruzaman
Dalam buku "Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan, Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi juga menggambarkan bagaimana Biro Khusus beroperasi dengan sosok pemimpinnya yang misterius, Sjam Kamaruzaman.
"Pimpinannya dipercayakan kepada Sjam. Tokoh ini oleh Aidit pernah dikirim ke Vietnam Utara, RRC, dan Korea Utara untuk mempelajari perang rakyat dan intelijen." tulis Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.
"Oleh sebab itu, sepak terjang Sjam selalu awas, licin, dan teliti dalam mempelajari lawan. Sjam juga disebutkan sebagai orang yang misterius dan tertutup." lanjutnya.
Nama lain Sjam adalah Kamaruzaman bin Achmad Moebaidah, pimpinan buruh pelabuhan Tanjung Priok. Di kalangan militer, ia dikenal dengan nama Sjam, sedangkan di kalangan PKI bernama Gimin.
Foto: Dok.Salim Said - Dari Gestapu ke Reformasi
Keberadaan organisasi yang dipimpinnya, Biro Khusus, maupun personalianya tidak diketahui oleh orang-orang atau pimpinan PKI lainnya, kecuali oleh Dewan Harian Politbiro.
Keberadaan Biro Khusus baru terungkap berkat pengakuan Nyono di Mahmillub tahun 1966.
Nyono menyatakan bahwa Sjam sebagai orangnya Aidit. Pengakuan itu diperkuat dengan ditemukannya negatif film di Penas, tiga hari pasca G30S, oleh RPKAD (Kopassus).
"Bagaimanapun, dalam menata kelompok-kelompok konspirasi di dalam angkatan bersenjata, baik dengan metode “sistem tiga orang”, atau pun “sistem pembangunan sel” itulah, PKI mencatat keberhasilan yang sangat mengesankan" ungkap Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.
Menurut Sjam, Biro Khusus memiliki jumlah perwira yang berada di bawah kendali operasinya pada tahun 1965, yaitu 400-500 orang dalam Angkatan Darat (AD), 30-40 orang di Angkatan Laut (AL), dan 40-50 orang di Angkatan Udara (AURI).
Dari mereka yang berhasil direkrut ini, beberapa perwira telah menjadi konspirator utama yang pada akhirnya melaksanakan pembersihan terhadap komando puncak AD, dengan membunuh enam jenderal atas nama PKI dan Presiden pada subuh tanggal 1 Oktober 1965.
Foto: Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit (istimewa)
Dalam barisan Angkatan Darat, Biro khusus mengendalikan para perwira yang pada akhirnya melaksanakan pembunuhan atas para jenderal.
Sebut saja beberapa nama seperti, Letkol Infanteri Untung bin Sjamsuri, dari Pasukan Pengawal Istana Presiden Tjakrabirawa, yang secara ideologis adalah seorang komunis sejak pemberontakan komunis pertama di Madiun tahun 1948.
Kemudian Brigjen Supardjo, yang dididik Sjam sejak tahun 1958, yang mengepalai kelompok oposisi terhadap Jenderal Nasution dalam kalangan AD dan mengomandoi operasi “konfrontasi” terhadap Malaysia di Kalimantan.
Kolonel Latief, Komandan Brigade Infanteri I dari Komando Militer V yang ditempatkan di Jakarta, yang telah untuk beberapa waktu berada di bawah bimbingan Pono.
Foto: Letkol Untung saat menjalani sidang di pengadilan militer - Dok. Arsip Nasional
Lalu ada Marsekal Omar Dhani, Panglima AURI, Mayor Sujono, Komandan Pangkalan Udara Halim dan Kolonel Heru Atmodjo, Asisten Direktur Departemen Intelijen AURI.
Lalu, bagaimana menjelaskan bahwa seorang jenderal, seorang kolonel, seorang letnan kolonel, dan sejumlah mayor, kapten, dan letnan, secara berjamaah menjadikan diri mereka anak buah seorang sipil dalam sebuah operasi militer yang begitu penting dan rumit?
Dalam catatan sejarawan Salim Said pada bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian", terbitan Mizan 2013, pada sidang Mahmillub, Sudisman salah satu toko sentral PKI menegaskan, bahwa Sjam berhubungan langsung de ngan D.N. Aidit. Artinya, Sudisman tidak tahu apa persisnya perintah Aidit kepada Sjam.
Sebagaimana yang disaksikan beberapa tokoh Gestapu yang berada di sekitar Sjam pada pagi hari pertama bulan Oktober di Senko, adalah Sjam yang memerintahkan pembunuhan dua jenderal yang tiba dengan selamat di Lubang Buaya, ketika yang lainnya sudah terlebih dahulu terbunuh di rumah masing-masing.
"Juga perlu dicatat bahwa Brigjen Supardjo, Kolonel Latif, maupun Letnan Kolonel Untung, semua mengaku terkejut ketika tahu terjadinya pembantaian tersebut. Supardjo, Latif, dan Untung memang tidak punya akses langsung kepada pasukan yang bertugas di lapangan pada pagi itu. Ini juga fenomena yang aneh." jelas Salim dalam bukunya.
Sementara itu penuturan Letnan Kolonel Penerbang Heru Atmodjo dalam bukunya, Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb.) Heru Atmodjo, adalah Sjam yang sebenarnya langsung memimpin operasi militer Gestapu pada satu Oktober pagi itu.
"Heru Atmodjo berada di Senko, pusat kegiatan Gestapu pada pagi hari itu merasa heran melihat bagaimana Syam, seorang sipil, memimpin langsung operasi militer, sementara di sekitarnya ada Brigadir Jenderal TNI Supardjo, Letnan Kolonel Untung, serta Kolonel Latif." ungkap Salim.
Dalam kesaksiannya pada pengadilan tokoh PKI, Nyoto, Maret 1966, Untung menyebut Syam dan Pono, keduanya anggota Biro Khusus PKI, sebagai bagian inti Gestapu yang mewakili Aidit.
Pada pengadilan yang sama, Saksi Suyono menyebutkan, bahwa Syam adalah orang yang menentukan dalam rapat-rapat perencanaan operasi militer Gestapu. (buz)
Ikuti perkembangan berita terbaru lainnya melalui kanal YouTube tvOneNews:
Load more