Jakarta, tvOnenews.com - Ombudsman RI mengungkapkan bahwa ditemukan adanya potensi maladministrasi soal relokasi warga di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.
Hal tersebut disampaikan Johanes pada Senin (18/9/2023) di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi Utara.
"Ombudsman telah melakukan permintaan keterangan secara langsung kepada pihak-pihak yang terdampak, serta pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua dengan merujuk Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 Tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam," kata Johanes.
Johanes menjelaskan, terdapat 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.
Kata Johanes, pihaknya memperoleh informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektar.
"Lahan ini akan dikembangkan sebagai proyek Strategis Nasional 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco City Pulau Rempang," ungkapnya.
Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, menurut Johanes hal ini tidak sesuai ketentuan.
Karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.
“Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum,” papar Johanes.
Johanes dengan tegas menentang segala bentuk represivitas yang dilakukan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan di Pulau Rempang.
"Turunnya ribuan aparat disertai penggunaan gas air mata dalam merespons penolakan masyarakat justru akan menambah konflik menjadi semakin besar," kata dia.
"Masyarakat di Pulau Rempang sangat terdampak dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi masyarakat karena merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan maupun anak-anak yang takut bersekolah karena adanya aparat di perkampungan mereka," tambahnya.
Lebih jauh, Johanes menyebut, berdasarkan penelusuran Ombudsman, masyarakat di 10 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang mendukung dilakukannya investasi di Pulau Rempang, namun menolak dilakukan relokasi.
"Mereka lebih mendukung apabila dilakukan penataan Kampung Tua dengan pengembangan investasi," katanya.
“Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih tergolong belum masif dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah,” jelas Johanes.
Selanjutnya, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya.
Kemudian, akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak Terlapor.(rpi/muu)
Load more