tvOnenews.com - Jenderal Ahmad Yani murka bukan kepalang, ketika prajurit Cakrabirawa dihadapannya itu tidak mengizinkannya untuk mandi atau sekedar mencuci muka, dan memaksanya segera berangkat menghadap presiden Sukarno , di pagi buta 1 Oktober 1965.
Prajurit yang berada dihadapannya, Praka Dokrin, langsung ditempeleng hingga sempoyongan dan jatuh tersungkur.
Sang Jenderal, Kepala Staf Angkatan Darat itu gugur ditembus 7 butir peluru oleh prajuritnya sendiri, dan yang memilukan, peristiwa itu terjadi di depan mata anak-anaknya.
Foto: Cuplikan film Penghianatan G30S PKI
"Jatuh pak Yani, dibalik sama mereka, bukan pakai tangan, pakai kaki. Kita yang liat disitu, gimana sih, gak bisa kita terima, diberondong, senjatanya thompson" cerita Untung Mufreni, putra ketujuh Jenderal Ahmad Yani, dalam kanal YouTube TNI Angkatan Darat .
Kejadian di pagi buta itu tidak terlupakan oleh anak-anak Jenderal Ahmad Yani. Mereka mengenang peristiwa kelam itu sebagai kisah pilu yang terus membekas hingga saat ini.
Putri ke tiga Jenderal Ahmad Yani, Amelia Yani, dikemudian hari membuka catatan harian ayahnya, menyampaikan sejumlah kisah yang belum terungkap, tentang pergulatan batin ayahnya, melawan berbagai fitnah dan tuduhan yang dialamatkan padanya dimasa itu.
Amelia Yani membuka catatan harian ayahnya ke publik untuk memperjelas berbagai fakta yang menurutnya kerap diputar balikkan. Terutama tentang isu Dewan Jenderal yang berhembus setelah temuan Dokumen Gilchrist yang kontoversial itu.
Foto: Tulisan tangan Jenderal Ahmad Yani dalam buku agendanya (YouTube - Amelia Yani)
"Ini adalah faktanya, semua ada di sini, tulisan ayah saya ada di sini dan saya menyampaikannya dengan ketulusan hati agar masyarakat bisa mengetahui apa yang terjadi pada saat ini bukan masalah internal akatan darat" kata Amelia Yani melalui kanal YouTube pribadinya.
"Itu semua sudah ada di Mahmilub, mereka yang melakukan kudeta ditembak mati, dihukum mati, dihukum seumur hidup. Namun yang seumur hidup itu yang kadang-kadang didatangi oleh media, oleh masyarakat tertentu dan diputar balikkanlah fakta-fakta itu tapi fakta itu ada di sini," lanjutnya.
Tentang isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist yang dimaksudkan Amelia Yani, adalah surat yang diketik pada formulir yang biasa digunakan oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Nama pembuat surat adalah Sir Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris (1963-1966) untuk Indonesia.
Seperti yang diketahui, Pada bulan Mei 1965, seseorang yang bernama Bahar atau Kahar, mengirim sebuah draft surat ke rumah Dr.Subandrio. Surat itu tertanggal 24 Maret 1965, namun tidak bertanda tangan.
Peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic dalam bukunya "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi", diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia 2007 dan diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin, Bernard Hidayat dan Masri Maris, mengatakan,
"Dokumen itu datang bersama nota penjelasan yang mengatakan bahwa surat itu telah ditemukan di bungalow Bill Palmer di Tugu dekat Bogor, ketika para pemuda yang melakukan demonstrasi mengobrak-abriknya pada tanggal 1 April 1965." tulis Victor M. Fic.
Bill Palmer sendiri adalah seorang agen pemesanan film Amerika. Surat itu mengatakan bahwa Inggris dan Amerika merencanakan suatu serangan terhadap Indonesia, yang akan dibantu oleh “our local army friends”, yang berarti beberapa orang perwira di dalam komando puncak Angkatan Darat Indonesia.
Dokumen Gilchrist ini kemudian dijadikan alat propaganda PKI untuk memojokkan Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah jenderal Angkatan Darat lainnya, dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta pada presiden Soekarno.
Meskipun surat itu tidak ada tanda-tangannya, namun Subandrio yakin bahwa surat itu asli, demikian pula Presiden Soekarno, yang juga berpendapat sama saat Subandrio menyerahkan surat itu kepadanya.
"Setelah itu muncullah dalam panggung politik itu desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal, yang dituduh terdiri dari lima jenderal AD terkemuka yang akan merencanakan kudeta terhadap Presiden." ungkap Victor.
Menepis Isu Dewan Jenderal
Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi dalam buku "Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan", Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, menulis,
Pada 26 Mei 1965, sebuah rapat digelar di Istana yang dihadiri oleh para panglima keempat angkatan, kecuali Panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang berhalangan hadir dan diwakili oleh Laksda Sri Moeljono Herlambang.
"Dalam kesempatan itu Presiden menanyakan kepada Letjen A.Yani, apakah ada anggota Angkatan Darat yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika. Letjen A.Yani menjawab, “Tidak ada”." tulis Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.
Jenderal Ahmad Yani, telah menegaskan bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada hanyalah Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) dan hanya berfungsi sebagai penasihat bagian kenaikan pangkat dan jabatan dalam Angkatan Darat.
Foto: Amelia Yani bersama foto ayahnya, Jenderal Ahmad Yani. (YouTube - Amelia Yani)
Sebagaimana dalam catatan yang diungkap putrinya itu, terdapat sebuah rapat yang isinya membahas tentang kenaikan pangkat para perwira di Angkatan Darat, dimana Ahmad Yani menjadi notulennya.
Dalam catatan itu memang ditulis "Dewan Jenderal", namun menurut Amelia, yang dimaksudkan itu adalah Wanjakti.
"Ini adalah tentang Kenaikan Pangkat, ini tulisan Bapak saya, nanti mungkin bisa saya tunjukkan secara jelas. Di sini nutulensi rapat Dewan Jenderal, itu Bapak saya sebagai sekretaris. Di sini rapat dibuka pada jam 09.37, bertempat di markas besar" ungkap Amelia.
"Disini yang hadir adalah Letnan Jenderal Gatot Subroto, Mayor Jenderal Jati Kusumo dan bapak saya waktu masih Brigjen sebagai notulensinya. Acaranya adalah persetujuan apakah ada kenaikan pangkat menjadi jenderal" lanjutnya.
Dalam notulensi rapat pada catatan di buku agenda Ahmad Yani tersebut, berisi tentang persetujuan kenaikan pangkat sejumlah perwira Angkatan Darat, dari kolonel menjadi Jenderal.
Dalam catatan itu, terdapat sejumlah nama perwira Angkatan Darat yang dipromosikan dari pangkat Kolonel menjadi Jenderal.
Nama-nama itu diantaranya Kolonel Ashari, Ibnu Sutowo, Karta Kusuma, Kertarto, Jamin Ginting dan Latief. Namun dari nama-nama tersebut Kolonel Latief tidak disetujui kenaikan pangkatnya menjadi Brigjen.
Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri Kodam V Jakarta Raya, dikemudian hari diketahui menjadi salah satu tokoh kunci dalam G30S PKI.
Foto: Kolonel Abdul Latief saat menjalani sidang di pengadilan militer. (Dok. Perpustakaan Nasional)
"Saya menyangka Latif ini tidak disetujui naik pangkat, sehingga dia mungkin kesal sama Pak Yani, kenapa tidak dibantu Lalu dia mengatakan mungkin kepada Politbiro bahwa Pak Yani itu dibuatkan namanya Dewan General yang akan menyingkirkan Presiden Sukarno" lanjutnya
Jenderal Ahmad Yani makin dipojokkan dengan isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist yang dipropagandakan oleh Biro Khusus PKI melalui Sjam Kamaruzaman. Ahmad Yani juga dianalogikan PKI sebagai Jenderal Pentagon berkulit sawo matang.
Hal ini kemudian membuat Jenderal Ahmad Yani menulis surat yang cukup panjang kepada Bung Karno, menyampaikan tentang sikap Angkatan Darat yang setia pada perjuangan revolusi dan bagaimana PKI memutar balikkan fakta.
"Bapak saya menulis kepada Bung Karno, tapi tulisan ini masih coret-coret, saya tidak tahu apakah ini pernah terkirim. Tapi kalau menurut tulisan dari Rosihan Anwar dalam bukunya, ketika Bung Karno menerima surat dari Pak Yani, beliau sulit tidur" ungkap Amelia Yani.
Amelia Yani mengungkapkan, dalam buku agenda ayahnya itu, pada 18 Januari 1965, Jenderal Ahmad Yani menulis, "Mengapa saya menjadi prajurit? karena saya patriot, karena saya cinta tanah air saya" (buz)
Load more