Ketika dikembalikan pada Jitske ada pin palu arit disematkan di tas tersebut. Senang dengan bentuk lencana berwarna dasar merah dan bergambar palu arit, Jitske menyimpan oleh oleh tersbeut di laci bersama kalung, cincin yang tak pernah lagi di pakai.
Suatu kali ada pemberitaan di media soal razia kembang gula penguasaha yang "kreatif" memasang logo palu arit sebagai strategi pemasaran. Tiba tiba Jitske ingat lencana palu arit dari Polandia yang ia punya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu hal: mengenyahkan benda berbahaya itu.
Tapi bagaimana caranya? Membuang ke tong sampah, lalu ditemukan oleh warga lain sama halnya dengan menambah besar persoalan. Walhasil Jitske lalu memilih menguburkan lencana lucu yang ia gemari itu di sebuah lumpur di selokan tak jauh dari rumahnya.
Sebenarnya ada barang 'berbahaya" lain yang disimpan di lemari tua, yang kacanya kabur dan retak di sudut kamar pribadi Jitske dan Hersri. Pada sebuah kotak, mereka menyimpan surat surat cinta bersama tali pusat (pusar) Ken Prahari, anak mereka (kepercayaan Jawa dan ilmu pengetahuan modern membuktikan air rendaman tali pusat bisa jadi penawar penyakit sang anak), tersimpan foto foto gelombang penyerangan pada penduduk Tionghoa di Solo dan foto foto unjuk rasa anti-IGGI di Amsterdam, Belanda.
"Jika sampai jatuh ke tangan orang lain, benda ini bisa sangat berbahaya bagi kami," ujar Jitske.
Pindah kontrakan rumah adalah hal yang sangat menyulitkan bagi seorang eks tapol. Ia harus lapor dan minta izin dari RT, RW, Kecamatan, Wali Kota hingga Gubernur. Tidak hanya birokrasi sipil, izin juga harus dimintakan pada polisi, kodim dan koramil.
Kesulitan semakin bertambah jika pindah wilayah rumahnya saat jelang pemilu. Ruth menceritakan bagaimana proses rumit meminta izin yang harus ia jalani jelang pemilu 1987.
Load more