tvOnenews.com-Jitske Mulder alias Ruth Havelar, pengarang Belanda pada awal 1980 memutuskan menikah dengan Hersri Setiawan eks tahanan politik (tapol) yang pernah ditahan di Pulau Buru.
Keputusannya menggadaikan cinta dan hidup bersama dengan tahanan politik saat era Orde Baru merupakan pilihan pilihan yang sulit, tidak rasional dan penuh ancaman.
Apalagi Hersri bukan tapol biasa. Sejak muda Hersri dibesarkan dan mengajar di sekolah sekolah yang didirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hersri penulis yang aktif di Lekra, lembaga kebudayaan yang praktek kerja, estetika dan pilihan politiknya condong ke blok sosialis komunis. Pada 1961-1965 Hersri mewakili pengarang Indonesia dalam Konperensi Pengarang Asia-Afrika. Hersri juga mengasuh majalah The Call, penerbitan sastra Asia Afrika.
Hidup bersama tahanan politik memang membutuhkan cinta dan tekad yang kuat. Apalagi Jitske dan Hersri hampir tak mempunyai kesamaan. Hersri Setiawan lahir dari keluarga guru di Jawa Tengah, masa kecil dan remajanya penuh keprihatinan karena pendudukan Jepang dan revolusi fisik perjuangan kemerdekaan 1945.
Jitske Mulder anak seorang tukang kayu di Utrecht, Belanda hidup ketika ekonomi mulai membaik, kesenangan hidup meningkat setelah Perang Dunia usai.
Jitske Mulder dan Hersri berlatar belakang yang sangat berbeda. Jitske mengalami kebebasan sejak kecil di Belanda, Hersri hidup di alam feodalisme di Indonesia (Sumber Foto: Buku Selamat Tinggal Indonesia, Pustaka Utan Kayu)
Hersri mengalami hidup tertekan dengan feodalisme yang dipertahankan oleh pemerintah kolonial asing dan pribumi, Jistke merasakan kebabasan sejak kecil.
Hal yang paling berbeda dan berdampak dalam kehidupan mereka berdua adalah Jitske tinggal di Indonesia dengan paspor turis, sementara Hersri seorang eks tahanan politik kelas kakap yang pernah merasakan dibuang ke gulag Digul.
"Ternyata tekad lebih baik dari kata i love you yang sering saya ucapkan," ujar Jitske mencoba menjelaskan pilihan pilihannya yang tidak bisa disebut normal.
Bersama Hersri hidup Jistke memang berubah drastis. Dalam buku Kenang Kenangan Kisah Hidup Perempuan Belanda, Selamat Tinggal Indonesia yang diterbitkan Pustaka Utan Kayu pada 2002 Jitske menulis hal hal yang sederhana bisa menjadi lebih rumit dan politis pada keluarga mereka. Bahkan Al Quran dan Kamus Bahasa Jerman yang bertengger di rak buku sudah bertuliskan: telah disensor ass intel/ops/inrehab-Buru.
Jitske Mulder bersama Ken Prahari, mengalami hidup yang sulit selama masa pemerintahan Orde Baru (Sumber Foto: Buku Selamat Tinggal Indonesia, Pustaka Utan Kayu)
Suatu kali misalnya Jistke meminjamkan tasnya pada kerabat yang akan pergi ke Polandia. Sebagai negeri yang pernah menganut komunisme sebagai bagian dari Eropa Timur adalah wajar jika souvenirnya berbau kekiri-kirian.
Ketika dikembalikan pada Jitske ada pin palu arit disematkan di tas tersebut. Senang dengan bentuk lencana berwarna dasar merah dan bergambar palu arit, Jitske menyimpan oleh oleh tersbeut di laci bersama kalung, cincin yang tak pernah lagi di pakai.
Suatu kali ada pemberitaan di media soal razia kembang gula penguasaha yang "kreatif" memasang logo palu arit sebagai strategi pemasaran. Tiba tiba Jitske ingat lencana palu arit dari Polandia yang ia punya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu hal: mengenyahkan benda berbahaya itu.
Tapi bagaimana caranya? Membuang ke tong sampah, lalu ditemukan oleh warga lain sama halnya dengan menambah besar persoalan. Walhasil Jitske lalu memilih menguburkan lencana lucu yang ia gemari itu di sebuah lumpur di selokan tak jauh dari rumahnya.
Sebenarnya ada barang 'berbahaya" lain yang disimpan di lemari tua, yang kacanya kabur dan retak di sudut kamar pribadi Jitske dan Hersri. Pada sebuah kotak, mereka menyimpan surat surat cinta bersama tali pusat (pusar) Ken Prahari, anak mereka (kepercayaan Jawa dan ilmu pengetahuan modern membuktikan air rendaman tali pusat bisa jadi penawar penyakit sang anak), tersimpan foto foto gelombang penyerangan pada penduduk Tionghoa di Solo dan foto foto unjuk rasa anti-IGGI di Amsterdam, Belanda.
"Jika sampai jatuh ke tangan orang lain, benda ini bisa sangat berbahaya bagi kami," ujar Jitske.
Pindah kontrakan rumah adalah hal yang sangat menyulitkan bagi seorang eks tapol. Ia harus lapor dan minta izin dari RT, RW, Kecamatan, Wali Kota hingga Gubernur. Tidak hanya birokrasi sipil, izin juga harus dimintakan pada polisi, kodim dan koramil.
Kesulitan semakin bertambah jika pindah wilayah rumahnya saat jelang pemilu. Ruth menceritakan bagaimana proses rumit meminta izin yang harus ia jalani jelang pemilu 1987.
Selama berbulan bulan ia harus mondar mandir ke puluhan meja di kantor birokrasi sipil dan militer. Mengisi formulir, menyerahkan pas foto, membayar uang ekstra agar proses pengurusan bisa lancar. Ternyata ada aturan tak seorang pun tapol dilarang pindah domisili sebelum pemilu digelar. Akhirnya formulir perizinan mangkrak di meja gubernur.
Padahal, Ruth dan Hersri sudah terlanjur pindah ke sebuah kampung di Bogor. Bahkan ia diterima dengan baik oleh pihak RT setempat. Saat itu untuk meredam rasa marah, Ruth dan Hersri hanya tertawa bersama saja di rumah kontrakan mereka.
"Rupanya birokrasi saling berbenturan," ujar Ruth. Saat pemilu makin dekat, intimidasi mulai bermunculan. Ia makin diminta datang ke sejumlah lembaga untuk lapor diri. Istilah saat itu program bersih lingkungan.
Jitske juga menulis bagaimana birokrasi saat itu, sejak RT, RW, Kelurahan giat menempel poster Golkar di setiap sudut kampung. Pemilu adalah mobilisasi untuk mencoblos Golkar. Rumah kontrakannya tak luput dari tempelan alat peraga kampanye Golkar.
Dua hari sebelum pemilu, Hersri bertanya ihwal persiapan mencoblos pada Ketua RT setempat. Ternyata nama Hersri tak ada dalam daftar warga yang akan mencoblos di lingkungannya. Meski ditawari mencoblos dengan nama warga lainnya, Hersri menolak. "Itu melanggar hukum," ujar Hersri. Meski sebenarnya ada perasaan lega karena tidak ikut dalam mobilisasi massa dan pemilu seremoni. (bwo)
Load more